Sabtu, September 26, 2009

Semua Bisa Jadi Pahlawan!


"Mencari Pahlawan Indonesia"

Penulis : Anis Matta

Penerbit : The Tarbawi Center, 2004

Mencari Pahlawan Indonesia merupakan kumpulan tulisan dari Anis Matta yang pernah dimuat dalam Serial Kepahlawanan di Majalah Tarbawi. Kumpulan tulisan ini bukanlah kumpulan angan-angan tentang sosok seorang yang turun dari langit untuk menjadi juru selamat dari krisis multidimensi yang melanda bangsa ini. Kumpulan tulisan ini justru mengajak kita untuk bersama-sama menelaah nilai-nilai dari seorang pahlawan serta faktor-faktor dibalik kepahlawanan seseorang. Kumpulan tulisan dalam bentuk sebuah buku ini pun mengajak kita untuk menumbuhkan suatu sosok pahlawan dari dalam diri kita, karena setiap diri kita memilki potensi untuk menjadi seorang pahlawan.

Filosofi

Apakah sebenarnya “pahlawan” itu? Banyak dari kita, yang masih memiliki paradigma bahwa seorang pahlawan adalah orang suci yang turun dari langit yang diturunkan ke bumi untuk menyelesaikan persoalan dengan mukjizat, secepat kilat untuk kemudian kembali ke langit. Padahal sebenarnya orang-orang yang kita kenal sebagai sesosok pahlawan yang nyata selama ini adalah manusia biasa pula. Manusia biasa, sama seperti kita. Karena, pahlawan sesungguhnya adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi yang panjang, sampai waktu mereka habis. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Namun, yang tidak kalah penting bagi seorang pahlawan adalah nilai keikhlasan. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa “pahwalawan” dapat menjadi suatu gelar yang diberikan oleh masyarakat. Nilai keikhlasan menjadi penting sebab keikhlasan lah yang akan membawa setiap orang pada hakikat yang besar dan abadi, dimana setap orang akan ditempatkan dengan layak, adil, dan objektif.

Trilogi Dunia

Ya, pahlawan adalah seorang manusia biasa. Manusia biasa yang tentunya tidak akan lepas dari ujian Allah SWT yang terangkum dalam “trilogi dunia”; harta, tahta, dan wanita. Namun, ketika semua itu dihadapi dengan kesabaran, “trilogi dunia” dapat menjadi sumber kekuatan yang akan terus menyalakan api kepahlawanan dalam diri seseorang.

Wanita adalah sosok yang penting bagi seorang pahlawan, yang menempati ruang yang begitu luas dalam jiwa seorang pahlawan. Wanita memiliki kekuatan berupa kelembutan, kesetiaan, cinta, dan kasih sayang yang mampu menjadikannya penjaga spiritual dan sandaran emosi bagi sang pahlawan. Dari sosok seorang wanita inilah pahlawan dapat memperoleh kekuatan, ketenangan, kenyamanan, keamanan, dan keberanian dalam memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Salah satu contoh nyata dari peran penting seorang wanita bagi seorang pahwalan adalah kisah Khadijah yang menguatkan hati suaminya, Nabi Muhammad SAW, yang merasakan ketakutan luar biasa saat menerima wahyu untuk pertama kalinya.

Jika wanita berperan dalam pembentukan jiwa pahlawan, maka untuk mewujudkan kepahlawanannya seorang pahlawan memerlukan sumber daya berupa harta. Harta bagi seorang pahlawan adalah sarana agar kepahlawanannya bisa diwujudkan di dunia materi (nyata) ini. Untuk itu, setiap pahlawan harus memaknai pengorbanan sebagai energy dari ke-zuhud-an. Energi yang akan membuat setiap pahlawan tidak nervous ketika berhadapan dengan harta dunia sehingga harta tidak pernah menemukan jalan menuju hati mereka dan akhirnya harta tersebut mampu untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakatnya.

Satu bagian lagi dari trilogy dunia para pahlawan adalah “tahta”. Ibnu Qoyyim Al- Jauziah pernah berkata, “ Saya telah mempelajari seluruh syahwat manusia. Yang ku temukan kemudian adalah fakta bahwa syahwat yang paling kuat dalam diri manusia adalah syahwat kekuasaan”. Tahta atau kekuasaan, berikut besarnya dorongan maupun godaan dibaliknya, bak dua mata pisau. Satu sisi mampu menjadi sarana untuk pahlawan mewujudkan kepahlawanannya (seperti halnya harta) namun di sisi lain tahta mampu menjerumuskan banyak pahlawan ke dalam lumpur kenistaan dan bisa merusak semua telaga kepahlawanan yang ia ciptakan sendiri. Oleh karena itu setiap pahlawan harus menempatkan tahta sebagai sarana, bukan sebagai tujuan.

Aspek-aspek kepahlawanan

Trlogi dunia merupakan anugerah sekaligus ujian bagi para pahlawan. Anugerah jika mampu menjadikannya sebagai sarana, bukan tujuan. Menjadikannya dalam genggaman, bukan dalam hati. Apa yang membuat para pahlawan mampu melakukan hal tersebut? Selain keikhlasan dalam berbuat, factor penting lainnya adalah terasahnya aspek-aspek kepahlawanan dalam diri, yang meliputi keberanian, kesabaran, dan pengorbanan.

Setiap pahlawan merupakan seorang pemberani. Pemberani tidaklah sama dengan nekad, menjadi pemberani adalah menjadi seseorang yang sepenuhnya maju menunaikan tugas, baik tindakan maupun perkataan, demi kebenaran kebaikan, atau untuk mencegah suatu keburukan dengan menyadari sepenuhnya kemungkinan resiko yang akan diterima. Keberanian tidak akan optimal tanpa kesabaran. Atau dengan kata lain, tidak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran. Keduanya saling berkaitan karena kesabaran adalah daya tahan psikologis yang menentukan sejauh apa pahlawan mampu membawa beban idealisme kepahlawanan dan sekuat apa pahlawan mampu survive dalam menghadapi tekanan hidup. Aspek lain yang juga penting dalam kepahlawanan adalah pengorbanan. Pahlawan mendapatkan “gelarnya” karena begitu banyak hal telah ia korbankan atau berikan pada masyarakatnya. Pengorbananlah yang memberi arti dan fungsi kepahlawanan bagi sifat-sifat pertanggungjawaban, keberanian, kesabaran.

Kesimpulan

Pahlawan sesungguhnya adalah hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Dengan demikian, setiap diri kita punya potensi untuk menjadi seorang pahlawan. Tinggal bagaimana kita mengoptimalkan potensi-potensi tersebut menjadi sarana dalam mewujudkan kepahlawanan serta tetap menjaga keikhlasan dalam berjuang.


* Tulisan ini juga bisa dilihat di Albinadigital.wordpress.com

* Terimakasih kepada Yoga (biologi UI 08) yang sudah meminjamkan buku ini. Terimakasih juga buat Zie, Marsha, Puji, & Edoy (psikologi UI 08) atas kerjasamanya dalam meeringkas isi buku ini sebelumnya, hehehe...

Selasa, September 08, 2009

Rekonstruksi .... dan Perjalanan Berbagi Ilmu (part 2)

-lanjutan dari postingan sebelumnya-

Ke Ciputat Berbagi Ilmu

Sepulang dari IPB, sebuah sms masuk ke hape saya. sebuah sms yang dikirim oleh Bang Fajar, ketua FUSI (LDF-nya Psiko UI) isinya menginformasikan akan adanya kunjungan FUSI tuk bertukar ilmu mengenai menejemen da’wah di fakultas dengan “FUSI”nya Psikologi UIN. Saya pun memutuskan untuk turut serta dalam kunjungan ini.

Esoknya, kita berangkat dari Akademos sekitar jam 9, dengan tak lupa mempersiapkan terlebih dahulu kado yang akan ditukarkan dengan rekan-rekan mahasiswa LDF Psikologi UIN di sana. Ternyata untuk mencapai kampus UIN di Ciputat sana, tidaklah sulit. Dari Depok cukup naik bus jurusan Lebak Bulus kemudian naik lagi angkutan kota (angkot), tapi lupa angkot nomor berapa.. hehe.. dan dalam jarak 2 kilometer dari terminal Lebak Bulus, sampailah kita di kampus UIN di Ciputat. Kampus UIN sendiri terdiri dari 2 bagian. Kalau kita anggap kampus yang pas di pinggir jalan raya adalah kampus 1, maka Fakultas Psikologi-nya terletak di kampus 2 yang di seberang kampus 1 tapi agak masuk ke dalem lagi. Di kampus 2 ini selain ada fakultas Psikologi juga ada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan serta kampus untuk program pasca sarjana.

Setibanya di kampus Fakultas Psikologi UIN, kami (rombongan dari FUSI Psiko UI) disambut dengan spesial, termasuk menghadirkan wakil dekan bidang kemahasiswaan untuk memberikan sambutan. Ibu wakil dekan bidang kemahasiswaan ini bernama Ibu Zahrotunnihayah. Beliau yang ternyata lulusan Psikologi UI ini ketika diberikan kesempatan menyampaikan sambutan sedikit berguyon mengenai singkatan UI dan UIN. Beliau mengatakan bahwa UI dan UIN sama-sama “UI”, hanya saja UIN adalah UI yang “Negeri”. Jadi, yang ada di Ciputat itu “UI Negeri”, sementara yang di Depok bukan.. Swasta donk.. (Ya bisa jadi kalo “BOP”-nya tidak “B” [berkeadilan]) Hehehe..

Setelah prosesi penyambutan plus sedikit tausiyah dari seorang da’i di UIN tentang ukhuwah dalam Islam yang memakan waktu hingga menjelang zuhur, yang kemudian dilanjutkan dengan sholat berjamaah lalu makan siang bersama, tibalah waktunya untuk sharing ilmu soal menejemen kegiatan da’wah di fakultas. Kegiatan ini diawali dengan rekan-rekan LDF Psiko UIN yang mempresentasikan seluk beluk lembaga mereka, termasuk bagaimana koordinasinya dengan lembaga da’wah se-kampus. Setelah itu baru presentasi dari FUSI Psiko UI.

Presentsi dari rekan-rekan Psiko UIN ini dibawakan oleh ketua KOMDA-nya.. (siapa ya namanya.. duh.. lupa nih.. hehe ) Apa itu KOMDA? KOMDA ini kepanjangan dari Komisariat Dakwah. LDF di UIN disebut komisariat da’wah karena antara tiap LDF dengan LDK terdapat garis komando. Hal ini berbeda dengan UI yang antara LDF dengan LDK (Salam UI) hanya terdapat garis koordinasi. Singkatnya, di UIN itu LDK berhak mengintervensi kebijakan LDF, sementara di UI tidak. Tapi bisa saling koordinasi untuk bekerja sama mencapai terget-terget tertentu. Gitu lho..


to be continued.. (lagi..)