Jumat, Maret 05, 2010

Hidayah dan Hidangan Istimewa.


Dahulu, seorang pemuda datang dari sebuah desa terpencil untuk belajar di Universitas Al-Azhar. Ia merantau ke mesir membawa impian besar dan harapan mendalam bahwa kelak ia menjadi seorang da’I yang ikhlas membantu agama Allah, seikhlas para ulama dahulu yang kisahnya telah banyak ia baca.

Setiap pagi ia pun menghadiri pengajian yang di masjid Al-Azhar, bersama seorang Syaikh. Disitulah ia mendulang ilmu-ilmu fikih, tafsir, hadists, adab, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Dengan takzim, setiap ia duduk mendengarkan ucapan syaikh yang menyampaikan pelajaran serta petuah-petuah penuh hikmah.

Namun keadaanya berbeda sejak beberapa bulan terakhir. Kiriman uang sekadarnya dari orangtuanya yang bekerja sebagai petani di kampung tak kunjung tiba. Dan sudah beberapa hari, uang persediaanya telah habis meskipun ia telah mencoba bertahan dengan menghemat sisa uangnya.

Kebutuhan sehari-harinya mulai terganggu. Bahkan seringkali ia tidak makan seharian. Keadaan itu sering membuatnya tidak mampu berkonsentrasi penuh terhadap setiap pelajaran yang disampaikan syaikh.

Hingga di suatu hari, ia tidak bisa lagi menahan rasa lapar yang mendera perutnya. Maka, ia memutuskan meninggalkan sejenak pengajian bersama syaikh, dengan harapan di luar sana, ia dapat menemukan sepotong roti untuk mengganjal perutnya yang semakin lama semakin perih karena lapar.

Maka berjalanlah ia menelusuri jalan dan lorong di sekitar kampus Al-Azhar. Tanpa ia sadari, ia tiba di sebuah bangunan rumah yang terlihat lebih mewah dari rumah di sekelilingnya. Pintu rumah itu terbuka lebar dan tidak terlihat siapapun di dalam rumah tersebut. Pemandangan yang menggoda siapa saja untuk masuk dan menjarah harta bendanya.

Karena tidak menemukan siapapun, ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah itu. di ruang makan, ia mendapati hidangan yang tertata rapih di atas meja, seolah disiapkan untuk satu jamuan. Aroma makanan betul-betul menggoda selera, menggugah perutnya yang perih didera rasa lapar.

Saat akan menyuapkan makanan tersebut kedalam mulutnya , seketika ia teringat akan nasihat Imam Asy-Syafi’I kepada Waqi’ bin Jarrah ; “karena ilmu adalah cahaya Allah. Dan cahaya itu takkan dikaruniakan pada pelaku maksiat”.

Sungguh, memasukkan makanan haram ke dalam perut walaupun hanya secuil roti adalah bagian dari menghalangi cahaya itu. Ia percaya mustahil menggabungkan antara cahaya dan kegelapan dalam satu ruang.

Akhirnya dengan perut yang masih sangat lapar, ia memutuskan untuk kembali ke pengajian bersama syaikh.

Setelah pelajaran syaikh baru saja usai, tiba-tiba saja seorang wanita separuh baya menghampiri syaikh. Lalu keduanya terlibat pembicaraan serius.

Tak lama kemudian, syaikh memanggil sang pemuda, “wahai Abdullah, kemarilah!”

Pemuda itu pun menjawab, “ya Syaikh, kenapa tiba-tiba Syaikh memanggilku?”

“Begini, bagaimana pendapatmu jika kamu menikah?” ujar syaikh.

Dengan terkejut pemuda tersebut menukas, “apa?! Apakah syaikh sedang bercanda dengan ku? Demi Allah, aku sudah tiga hari tidak makan, mau diberi makan apa istriku nanti, wahai syaikh?”

“Dengarkanlah, sesungguhnya wanita tua ini mengeluhkan kepadaku, kalau suaminya baru saja meninggal dunia. Suaminya meniggalkannya bersama Aisyah, putri satu-satunya, dan mewarisi harta yang melimpah. Ibunya ingin segera menikahkanya dengan seorang pemuda saleh, atas pertimbanganku. Ia mebutuhkan menantu yang nantinya akan membantunya untuk mengelola harta warisan, peninggalan ayahnya. Bagaimana?”

Seakan tidak percaya, pemuda itu menjawab, “kalau demikian, baiklah wahai syaikh, terimakasih atas perhatiannya. Saya siap menikah dengannya.”

Tak berapa lama, mereka segera menuju kediaman aisyah. Dan ketika tiba mereka disana, tiba-tiba pemuda itu meneteskan air mata.

Syaikh bertanya heran; “kenapa engkau menangis Abdullah? Apakah kau merasa terpaksa menikah dengan gadis ini?”

“Bukan ya Syaikh. Bukan karena itu, tapi, belum lama ini, saya pernah memasuki rumah ini. hampir saja saya mengambil makanan yang ada di atas meja itu. Tapi, aku teringat kalau makanan itu bukanlah milikku dan aku tidak boleh memakannya tanpa seizin pemiliknya. Jika aku memakannya, itu berarti aku memasukkan makanan yang haram ke perutku. Karena itu, aku segera meninggalkannya karena takut kepada Allah”

Syaikh pun bertasbih, “ Maha Suci Allah yang pernah berfirman, ‘barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeky dari arah yang tidak disangka-sangka’ (Ath-Thalaq : 2-3).”

Akhirnya, pemuda dan gadis itu dinikahkan oleh Syaikh, disaksikan oleh ibunda gadis tersebut serta orang-orang yang mereka cintai dan cinta kepada mereka.

Subahanallah, karena kecintaannya kepada Allah, pemuda desa itu telah mendapatkan limpahan rahmat. Kini, Ia pun tidak hanya mendapatkan seorang istri, tapi juga mewarisi harta kekayaan ayah dari isterinya. Begitulah cinta yang sesungguhnya. Ketika cinta kita tujukkan semata-mata kepada Yang Maha Mencinta, maka limpahan cinta-Nya akan membuat hidup ini terasa nikmatnya. Ia akan menguatkan jiwa kita, karena sesungguhnya jiwa ini lemah ketika dalam posisi yang salah..

Indah bukan ketika cinta kita letakkan pada jalan yang diridhoi oleh-Nya?! Lantas, masihkah kita tergoda untuk mencoba meletakkan, mewujudkan, memberikan cinta kita melalui jalan atau tradisi yang justru bertentangan dengan tuntunan yang sesuai fitrah kita (Islam) ?

Wallahu’alam bi showab

(Cerita dikutip dari buku : Engkau Lebih Cantik dari Bulan Purnama, karya Muhammad Yasir)