Minggu, Oktober 26, 2008

Mengapa Tidak Puasa?

Minggu ini kita memasuki minggu terakhir bulan Oktober, yang kebetulan tahun ini datangnya bersamaan dengan bulan Syawal, sehingga kita pun hampir satu bulan lamanya meninggalkan bulan ramadhan. Bulan Ramadhan adalah bulan ramadhan adalah bulan dimana umat islam di seluruh dunia (termasuk Indonesia) mendapat perintah untuk shaum (puasa) yaitu menahan diri, menahan gejolak hawa nafsu yang kita miliki dengan tidak makan dan minum, mengendalikan nafsu syahwat, mengendalikan emosi, dan sebagainya (lihat buku fiqh aja dah!) dari mulai waktu subuh (subuh lho! Bukan imsak!) hingga maghrib.
Latar belakang religus masyarakat Indonesia memang kuat (meskipun klenik juga). Kehidupan dengan latar yang religius memang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat I
ndonesia. Sehingga, sedikit saja terjadi tindakan tertentu yang menyalahi atau bertentangan dengan perintah agama, ke-heboh-an bisa timbul. Dalam konteks bulan ramadhan ini, menurut saya yang paling membuat heboh ialah ketika di siang hari (apalagi di tengah teriknya sinar matahari, di saat-saat kritis, saat perut sedang lapar-laparnya, kerongkongan sedang haus-hausnya) kita melihat ada orang yang makan dan minum.. Beuh! Rasanya, begitu ingin kita menghampirinya, menegur¬nya! Lancang sekali, di saat orang sedang kelaparan dan kehausan, dia enak-enakan makan.. Apa yang menyebabkan ia melakukan itu? Banyak hal mungkin yang bisa menjadi alasannya, bisa rasional bisa tidak, bisa syar’i bisa tidak.
Nah, berikut ini ada sebuah cerpen tentang orang yang tidak melaksanakan shaum di bulan Ramadhan. Dalam cerpen ini ditampilkan sebuah alasan mengapa seseorang tidak melaksanakan puasa di bulan ramadhan. Alasan yang simpel mungkin. Tapi meskipun simpel, ini bisa menggelitik nurani kita yang selama ini hidup dalam kecukupan. Selain itu, cerpen ini juga akan memberikan yang membacanya perspektif lain dalam tentang mengapa seseorang tidak berpuasa, tentang apa alasan dibalik itu semua. Yah, selamat membaca aja deh! Oh ya, cerpen ini sa
ya dapat dari sebuah layanan berlangganan posting blog dari sebuah blog berisi cerpen, dan berikut alamat yang juga bisa diakses untuk membaca cerpen ini..
http://poetratandjung.sv.wordpress.com/2008/09/21/tak-perlu-ajari-kami-berpuasa/
mudah-mudahan dengan ikut menampilkan cerpen ini di blog tidak berarti saya “melanggar hak cipta” si pemilik ya! hehehehe...

ini dia cerpennya:

Tak Perlu Ajari Kami Berpuasa

Hari ke tiga di bulan ramadhan saya berkesempatan menumpang becak menuju rumah ibu. Sore itu, tak biasanya
udara begitu segar, angin lembut menerpa wajah dan rambutku. Namun kenikmatan itu tak berlangsung lama, keheninganku terusik dengan suara kunyahan dari belakang, “Abang becak …?”


Sementara tangan satunya tetap memegang kemudi. “Heeh, puasa-puasa begini seenaknya saja dia makan …,” gumamku.
Rasa penasaranku semakin menjadi ketika ia mengambil satu lagi pisang goreng dari kantong plastik yang disangkutkan di dekat kemudi becaknya, dan … untuk kedua kalinya saya menelan ludah menyaksikan pemandangan yang bisa dianggap tidak sopan dilakukan pada saat kebanyakan orang tengah berpuasa.
“mmm …, Abang muslim bukan? tanyaku ragu-ragu.
“Ya dik, saya muslim …” jawabnya terengah sambil terus mengayuh
“Tapi kenapa abang tidak puasa? abang tahu kan ini bulan ramadhan. Sebagai muslim seharusnya abang berpuasa. Kalau pun abang tidak berpuasa, setidaknya hormatilah orang yang berpuasa. Jadi abang jangan seenaknya saja makan di depan banyak orang yang berpuasa …” deras aliran kata keluar dari mulutku layaknya orang berceramah.
Tukang becak yang kutaksir berusia di atas empat puluh tahun itu menghentikan kunyahannya dan membiarkan sebagian pisang goreng itu masih menyumpal mulutnya. Sesaat kemudian ia berusaha menelannya sambil memperhatikan wajah garangku yang sejak tadi menghadap ke arahnya.
“Dua hari pertama puasa kemarin abang sakit dan tidak bisa narik becak. Jujur saja dik, abang memang tidak puasa hari ini karena pisang goreng ini makanan pertama abang sejak tiga hari ini.”
Tanpa memberikan kesempatan ku untuk memotongnya,
“Tak perlu ajari abang berpuasa, orang-orang seperti kami sudah tak asing lagi dengan puasa,” jelas bapak tukang becak itu.
“Maksud bapak?” mataku menerawang menunggu kalimat berikutnya.
“Dua hari pertama puasa, orang-orang berpuasa dengan sahur dan berbuka. Kami berpuasa tanpa sahur dan tanpa berbuka. Kebanyakan orang seperti adik berpuasa hanya sejak subuh hingga maghrib, sedangkan kami kadang harus tetap berpuasa hingga keesokan harinya …”
“Jadi …,” belum sempat kuteruskan kalimatku,
“Orang-orang berpuasa hanya di bulan ramadhan, padahal kami terus berpuasa tanpa peduli bulan ramadhan atau bukan …”
“Abang sejak siang tadi bingung dik mau makan dua potong pisang goreng ini, malu rasanya tidak berpuasa. Bukannya abang tidak menghormati orang yang berpuasa, tapi…” kalimatnya terhenti seiring dengan tibanya saya di tempat tujuan.
Sungguh. Saya jadi menyesal telah menceramahinya tadi. Tidak semestinya saya bersikap demikian kepadanya. Seharusnya saya bisa melihat lebih ke dalam, betapa ia pun harus menanggung malu untuk makan di saat orang-orang berpuasa demi mengganjal perut laparnya. Karena jika perutnya tak terganjal mungkin roda becak ini pun tak kan berputar …
Ah, kini seharusnya saya yang harus merasa malu dengan puasa saya sendiri? Bukankah salah satu hikmah puasa adalah kepedulian? Tapi kenapa orang-orang yang dekat dengan saya nampaknya luput dari perhatian dan kepedulian saya?
“Wah, nggak ada kembaliannya dik…”
“hmm, simpan saja buat sahur bapak besok ya …”

-----

Setelah membaca cerpen barusan, bagaimana tanggapan anda?
Yah, kalo dari sudut pandang ku secara pribadi sih, mungkin si penulis ingin menyampaikan bahwa tidak seharusnya kita secara sepihak menjudge seseorang yang tidak melakukan ibadah seperti yang kita laksanakan dengn judgement-judgement buruk atau negatif dan membuat seakan-akan kitalah pihak yang baik, yang suci, yang paling benar. Selalu ada alasan yang menjadi motif bagi tindakan yang dilakukan seseorang. Terlepas dari apakah alasan tersebut bisa diterima atau tidak, yang harusnya kita lakukan adalah tidak berperasangka buruk terlebih dahulu kepada orang tersebut dan cobalah ikut memberikan solusi bagi masalah yang dihadapinya. Seperti yang dilakukan tokoh “Aku” dalam cerpen tadi, yang memberikan uang kembaliannya untuk si abang becak agar si abang becak tersebut bisa mempersiapkan sahur dan bisa berpuasa di hari berikutnya. Betul?!



Selasa, Oktober 21, 2008

Ngetes "Read more"...

Wah, setelah sekian lama off akhirnya, datang juga kesempatan untuk nge-blog lagi. Tapi, ternyata belum siap bahan posting selanjutnya. Maka, untuk mengisi kekosongan blog ini, dan untuk nge-tes "perubahan" yg baru kulakukan, aku post saja salah satu tugas kuliahku ini, hehehehe.. semoga bisa jadi bacaan yang bermanfaat..

Pengamatan Terhadap Petugas Pemeriksa Karcis Kereta Listrik (KRL) di Stasiun Universitas Indonesia
Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang hampir setiap hari melakukan perjalanan dari Bogor ke Uni¬versitas Indonesia (UI) dengan memanfaatkan jasa kereta listrik (KRL), di semua stasiun pem¬ber¬henti¬an kereta listrik jalur Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi (Jabodetabek), terdapat beberapa orang, umumnya pria, yang memakai seragam biru gelap, berjaga di sekitar pintu keluar stasiun, dan memeriksa setiap penumpang yang hendak melintasi pintu keluar stasiun apakah mereka membawa karcis kereta listik atau tidak. Orang-orang ini penulis sebut sebagai “Petugas Pemeriksa Karcis KRL”. Seperti sempat disebutkan di awal paragraf ini, di semua stasiun kereta listrik Jabodetabek terdapat petugas pemeriksa karcis KRL, termasuk stasiun UI. Melalui essay ini penulis akan menyampaikan hasil pengamatan (observasi) terhadap para petugas pemeriksa karcis KRL di Stasiun UI. Observasi atau pengamatan ini penulis lakukan dalam rangka meyelesaikan tugas observasi yang diberikan oleh dosen mata kuliah Logika dan Penulisan Ilmiah. Tugas ini deberikan untuk kelompok namun pada laporan hasil observasi nanti, setiap anggota kelompok diharusnya membuat laporannya masing-masing. Kelompok penulis memilih untuk mengobservasi petugas pemeriksa karcis ini dengan alasan agar observasi yang dilakukan tidak perlu mengambil tempat di luar kampus UI. Alasan kedua ialah karena letak stasiun UI yang tidak jauh dari area kampus Fakultas Psikologi UI. Cukup ditempuh dengan berjalan kaki sekitar dua menit dari area fakultas. Dan alasan ketiga ialah salah satu anggota kelompok pernah mempunyai penggalaman yang tidak menyena¬ng¬kan; digoda, diperlakukan tidak sopan, oleh seorang petugas pemeriksa karcis KRL. Mes¬ki¬¬pun demikian, bukan berarti observasi ini juga dilakukan untuk “balas dendam”. Observasi ini dilakukan untuk melihat apa saja yang mereka lakukan selain memeriksa karcis para penumpang yang baru turun dari kereta yang datang sebelum mereka keluar dari area stasiun. Dalam mengamati hal yang dilakukan dan tingkah laku para petugas pemeriksa karcis KRL ini, penulis melakukan pengamatan sebanyak 3 kali. Satu kali dilakukan bersama-sama dengan seluruh anggota kelompok, 1 kali dilakukan sendiri oleh penulis, dan 1 pengamatan terakhir dilakukan bersama salah satu anggota kelompok bernama Junius. Observasi pertama dilakukan sendiri oleh penulis pada tanggal 7 Oktober 2008, sejak pukul 16.32 sampai dengan pukul 17.00. Dari pengamatan pertama ini, penulis mendapati bahwa petugas pemeriksa karcis KRL ini melakukan 3 hal utama (karena dilakukan berulang-ulang).
Selain memeriksa karcis penumpang yang baru turun dari kereta sebelum mereka meninggalkan stasiun, para petugas pemeriksa karcis ini juga memeriksa setiap penumpang yang masuk ke peron, memastikan mereka sudah memilki tiket untuk melakukan perjalan dengan KRL. Hal lain yang dilakukan oleh para petugas ini ialah mengawasi agar tidak ada orang yang melintasi rel kereta untuk sekedar menyebrang maupun berpindah dari peron satu ke peron yang lainnya ketika ada kereta yang hendak melintas atau memasuki stasiun UI. Ketiga hal tadi penulis asumsikan sebagai tugas untuk para petugas pemeriksa karcis KRL karena ketiga hal tadi dilakukan secara terus menerus (berulang-ulang) dalam tiga keadaan yang berbeda. Memeriksa karcis para calon penumpang dilakukan ketika tidak ada kereta yang melintas. Mengawasi agar tidak ada yang melintasi rel kereta untuk sekedar menyebrang maupun berpindah peron dilakukan ketika kereta yang hendak melintas maupun masuk dan berhenti di stasiun. Dan memeriksa karcis para penumpang yang baru turun dari kereta sebelum meninggalkan area Stasiun UI saat ada kereta yang berhenti.

Observasi berikutnya (kedua dan ketiga) dilakukan pada 8 dan 10 Oktober 2008. Observasi kedua (8 Oktober 2008) penulis lakukan bersama seluruh anggota kelompok pada pukul 16.51 hingga pukul 17.15. Hasil observasi yang kedua ini tidak menunjukkan adanya tugas lain dari para petugas pemeriksa karcis KRL selain ketiga tugas yang sudah disebutkan sebelumnya. Pada observasi ketiga (10 Oktober 2008, 18.55-19.10) pun sama. Tugas dari para petugas pemeriksa karcis yang teramati oleh penulis tidaklah berbeda dari hasil dua pengamatan sebelumnya. Memeriksa karcis, memastikan para calon penumpang sudah memiliki karcis, dan mengawasi agar tidak ada yang melintasi rel kereta saat ada kereta yang hendak masuk ke stasiun atau hanya melintas. Dari kesamaan ini kita dapat berasumsi bahwa memang tugas petugas pemeriksa karcis KRL adalah ketiga hal yang telah penulis sebutkan sebelumnya. Ada pula fakta lain yang penulis dapati dari hasil observasi ini adalah petugas pemeriksa karcis ini kadang bertukar posisi dan pekerjaan dengan petugas yang bertanggung jawab pada penjualan karcis, atau dengan kata lain dapat terjadi pergiliran tugas antara petugas pemeriksa karcis dengan petugas yang menjual karcis.

Cara para petugas tersebut melaksanakan tugas-tugasnya juga penulis observasi. Tugas memeriksa karcis para penumpang yang baru turun dari kereta dilakukan dengan berdiri di dekat pintu ke arah luar area stasiun, karena ada 2 pintu ditempatkanlah masing-masing 2 petugas di setiap pintu sehingga total petugas yang bertugas saat itu ada 4 orang, berdiri dengan posisi siap menghadang penumpang yang mencoba melewati tanpa mau menyerahkan karcis. Terlihat agak sulit untuk mencoba melewati mereka tanpa menyerahkan karcis. Namun, bukan berarti tidak ada celah. Dari yang penulis amati, jika ada sesuatu yang mengalihkan perhatian para petugas pemeriksa karcis seperti orang lain yang memanggil, lamanya penumpang mempersiapkan karcis untuk diserahkan, maupun terlalu ramainya stasiun akibat “jam sibuk”, kesempatan untuk bisa melewati pintu tanpa harus meyerahkan karcis bisa terbuka. Penumpang yang tidak memilki karcis bisa memanfaatkan kelengahan ini untuk lewat begitu saja tanpa memberikan bukti bahwa ia telah membeli karcis perjalanan. Sementara dalam mengawasi agar tidak ada penumpang yang melintasi rel ketika ada kereta yang hendak memasuki stasiun, petugas pemeriksa karcis kerap beberapa kali terlihat memperingatkan penumpang untuk menunggu kereta lewat (masuk) terlebih dahulu baru menyebrang. Beberapa kali terlihat para salah seorang dari petugas tadi meniupkan peluit untuk memperingatkan penumpang akan adanya kereta yang akan melintas. Namun tetap saja ada yang menyebrangi rel kereta. Secara umum para petugas ini akan bersikap tegas dalam melaksanakan tugas-tugasnya, tapi bukan berarti mereka tidak ramah. Di beberapa kesempatan penulis melihat para petugas ini bersenda gurau dengan penumpang-penumpang yang sudah akrab dengan mereka.

Sebagai penutup, penulis menyimpulkan bahwa dari tiga kali observasi tugas petugas pemeriksa karcis KRL adalah memeriksa karcis penumpang baik yang turun maupun yang hendak naik KRL dan mengawasi keselamatan penumpang di stasiun.


Kamis, Oktober 02, 2008

Selamat Hari Raya Idul Fitri

selamat idul fitri 1429 h
minal aidzin wal faidzin
mohon maaf lahir dan batin ya!!!