Jumat, Juli 31, 2009

Rekonstruksi Sisa Mimpi, Isu Terorisme, dan Perjalanan Berbagi Ilmu

Sebagian orang berkata bahwa “life is a journey”.. Hal ini bagi saya mengindikasikan bahwa hidup tidaklah sempurna rasanya tanpa melakukan journey.. alias “jalan-jalan”.. hehe.. (tafsiran secara semprul..). Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya mencoba sedikit berbagi pengalaman saya dalam perjalanan 3 hari mengunjungi beberapa kampus perguruan tinggi di jabodetabek. Tepatnya ke UI (Depok dan Salemba), IPB, dan UIN Syarif Hidayatullah. Ini dia kisahnya..
Kunjungan Hari Pertama: Salemba, Rekonstruksi Sisa Mimpi
Ide untuk melakukan perjalanan pertama ini muncul dari benak 2 orang sahabat saya, sebut saja Fadhil dan Alif (keduanya bukan nama samaran), keduanya mahasiswa IPB (Institut Pertanian Bogor), yang ingin “menggila” melepaskan semua kepenatan dari kehidupan kampus mereka (juga saya) dengan berkunjung ke beberapa kampus di Pulau Jawa. Pengejawantahan tahap pertama dari ide ini adalah berkunjung ke Universitas Indonesia (UI) dan berfoto di depan landmark UI sambil mengenakan jakun (jaket kuning; jas almamater UI).

Maka, demi realisasi dari hasrat “menggila” yang kami miliki, kami (saya, A’ Fadhil, dan Alif)pun berangkat ke kampus UI di Depok pada hari Minggu, 27 Juli 2009, dengan kereta Ekonomi AC pukul 12.31. Lewat dari sekitar jam 1 siang kami tiba di stasiun UI. Kami pun bergegas mencari tempat untuk sholat zuhur, akhirnya sholat di MUI, dan kemudian mencari tempat untuk berfoto di depan landmark UI sambil mengenakan jakun. Awalnya ingin di depan Bundaran Psiko, di mana di situ terdapat makara UI berwarna keemasan. Namun, untuk lebih mendapat citra makara UI yang lebih jelas, kami pun memutuskan untuk berfoto di Kolam Makara FE UI.

Singkat cerita, setelah puas berfoto di depan Makara UI kami bergegas menuju kampus UI Salemba dimana di situ terdapat FK (Fakultas Kedokteran) dan FKG (Fakultas Kedokteran Gigi) UI. Momen inilah yang kusebut sebagai rekonstruksi mimpi karena Alif (khusunya) yang pernah punya cita-cita menjadi seorang dokter lulusan FK UI akhirnya berkesempatan mengunjungi tempat yang pernah menjadi cita-citanya. Cita-cita yang sempat menjadi bahan bakar bagi kehidupannya (lebay..) sampai kira-kira kelas XI SMA, sampai vonis menderita buta warna (parsial) ia terima dari dokter yang memeriksa matanya. Ya.. sulit bagi seorang buta warna untuk merealisasikan mimpinya berkarir dalam bidang yang berkaitan dengan biologi dan kimia (termasuk kedokteran). Maka itulah kenyataan yang harus ia terima. Mengubur impian menjadi seorang mahasiswa kedokteran (baca : calon dokter), dan kini menjadi mahasiswa jurusan Ilmu Komputer. Ya.. itulah hidup, terkadang yang kita cita-citakan bukanlah jalan yang terbaik bagi kita (seperti bisa dilihan di QS Al-Baqarah ayat 216). Semoga kita bisa mengambil hikmah dan menemukan betapa besar cinta-Nya dari ujian-ujian yang Ia berikan pada kita. Aamin.. Rekonstruksi pun berjalan sesuai rencana awal. Berfota ria di depan FK UI.

Hari Kedua : Pertemuan yang Batal dan Isu Terorisme

Sejatinya, kunjungan saya ke IPB (Institu Pertanian Bogor) hari itu (29 Juli 2009) tidak diniatkan untuk “jalan-jalan”. Saya hanya ingin bertemu dengan seorang teman saya, sebut saja bernama TB (lagi-lagi bukan nama samaran) untuk membahas evaluasi dari pelaksanaan suatu kegiatan trainning untuk rekan-rekan SMA yang baru saja lulus. Namun, kesibukan TB dalam mempersiapkan penyambutan mahasiswa baru IPB membuat pertemuan ini batal dilaksanakan. Akhirnya, karena sudah terlanjur sampai di area kampus IPB, kesempatan ini pun menjadi “jalan-jalan sore”.

Hal “menarik” terjadi saat saya sedang dalam perjalanan dari mesjid Al Huriyah menuju gerbang keluar IPB. Dalam momen itu saya bertemu dengan 2 orang wanita (salah satu masih muda, berperawakan seperti orang dari Indonesia Timur dan yang satu lagi lebih mirip orang melayu pada umumnya, namun usianya sekitar paruh baya) yang menanyakan jalan keluar dari kampus IPB kepada saya. nah, kebetulan kan! Saya mau keluar, mereka pun mau beranjak pergi. Maka kami pun berjalan bersama. Meski tanpa didahului oleh perkenalan, diantara kami bertiga tetap terjadi obrolan yang hangat dan ramah, dengan sedikit bumbu gelak tawa dari sedikit guyonan yang terlontar. Salah satu guyonan yang terlontar (dari 2 orang wanita tadi) adalah setelah mereka mengetahui saya baru dari mesjid Al Huriyah untuk bertemu dengan seorang teman, salah seorang diantara mereka (yang bermuka melayu) nyeletuk “... wah, abis ngerancang bom lagi ya..?? hehee..”. Tawa kecil pun merebak di antara kami bertiga. Hehe.. meskipun demikian, tetap saja, hati ini sedikit terluka. Bagaimana tidak? Sedikit guyonan ini menunjukkan betapa umat islam di Indonesia tengah dihadapkan pada suatu fitnah yang menyudutkan Islam sebgai agama teroris dan mesjid adalah “sarangnya”. Sebuah tantangan lagi bagi kita semua, umat Islam se-Indonesia (bahkan se-dunia) untuk menunjukkan bahwa Islam adalah rahmatan lil’alamin dan orang-orang dibalik semua fitnah ini sebagai the real terrorist..

Tanpa terasa, kami bertiga telah sampai di dekat gerbang keluar dari kampus IPB. Salam perpisahan yang hangat dan ucapan terimakasih tulus mereka ucapkan, dan saya pun membalas dengan ucapan selamat jalan dan pesan agar berhati-hatilah selama dalam perjalanan.


To be continued...

Kamis, Juli 23, 2009

Kenapa Bukan Aku?

Aku sangat ingin menjadi seorang astronot, sangat ingin tebang ke luar angkasa. Tapi.. aku tidak memiliki gelar dan aku bukanlah seorang pilot. Aku hanyalah seorang guru.
Harapan sempat mucul ketika Gedung Putih mencari warga biasa untuk ikut dalam penerbangan 5I-L pesawat ulang-alik Challenger. Kesempatan yang tidak boleh disiasiakan, aku pun ikut melamar. Betapa bahagianya diriku ketika amplop berlogo NASA yang berisi undangan untuk ikut seleksi aku terima. Aku terus beroda dan ternyata doaku terkabul karena aku lulus seleksi demi seleksi. Mimpi ku semakin mendekati kenyataan.
Dari 43 ribu pelamar yang kemudian disaring lagi menjadi 10 ribu orang dan akhirnya aku pun menjadi bagian dari 100 orang yang berhak mengikuti ujian tahap akhir. Ada simulator, uji klaustrofobi, latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara, dan serangkaian tes lainnya. Siapakah diantara kami yang bisa melewati tahap akhir ini? “Ya Tuhan.. izinkanlah diriku yang terpilih..” lirihku dalam doa yang kupanjatkan.
Lalu tibalah hari pengumuman itu. Dan ternyata NASA memilih Christina McAufliffe. Bukan aku. Aku telah kalah. Hidupku hancur. Aku mengalami depresi, seiring dengan lenyapnya rasa percaya diriku juga kebahagiaanku. Hanya amarah yang tertinggal. “Tuhan kenapa bukan aku? Kenapa Engkau tidak berbuat adil padaku? Kenapa Engkau begitu tega menyakiti hatiku?” Aku pun menangis di pangkuan ayahku. Namun ayahku hanya berkata, “anakku, semua terjadi karena suatu alasan..”
Selasa, 28 Januari 1986. Aku berkumpul bersama teman-temanku untuk melihat peluncuran Challenger. Saat pesawat itu melewati landasan pacu, aku menantang impianku untuk yang terakhir kalinya, “Tuhan, aku bersedia melakukan apa saja agar berada di dalam pesawat itu..”. Namun tak ada yang bisa kulakukan. “Tuhan.. Kenapa bukan aku?”.
Tujuh puluh tiga detik kemudian, ternyata Tuhan menjawab semua pertanyaan dan menghapus semua keraguanku. Tujuh puluh tiga detik setelah peluncuran itu, Challenger meledak dan menewaskan semua penumpangnya.
Aku teringat kata-kata Ayahku, “semua terjadi karena suatu alasan...”. Aku tidak terpilih dalam penerbangan itu, walau aku sangat menginginkannya, karena Tuhan memiliki alasan lain untuk kehadiranku di bumi ini. Aku memilki misi lain dalam hidup ini, dan aku tidaklah kalah. Aku tetap seorang pemenang. Ya aku tetap seorang pemenang. Aku menang karena aku telah kalah. Aku, Frank Slazak.

...boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS Al-Baqarah : 216)

diadaptasi dari "Rencana Allah", dalam buku Mengantar Ginjal ke Surga (Eman Sulaiman, penerbit : MadaniA Prima)

gambar: http://www.wired.com/ly/wired/news/images/full/Challenger_Launch.jpg

Senin, Juli 20, 2009

Di Balik Tirai Awan..

Siang ini sang surya bersinar perkasa
Siang ini ribuan jiwa terlahir ke alam fana
Dan mulai siang ini awan yang kan menaungi jiwa-jiwa itu berbeda..

Ada awan yang teduh melindungi
Ada pula yang kelam, badaipun membayangi
Namun itulah hari-hari yang harus dilewati..


Kita tidak pernah mengetahui apa yang ada dibalik awan
Tak pernah tahu..
Sampai sayap-sayap jiwa mampu terbang menembusnya
Atau sampai awan-awan itu justru turun menghampiri jiwa
Sebagai air yang kadang serupa air mata

Lindungan awan telah memberi bentuk pada jiwa
Teduhnya menyejukkan
Derai air matanya menumbuhkan harapan

Namun, tenangnya jiwa takkan datang bersama..

Bersyukurlah wahai jiwa-jiwa yang telah menemukan ketenagannya
Tentu bukan tenang dalam kehampaan yang kaucari
Tentunya ketenangan yang menentramkan jiwalah tujuanmu..

Bersujudsyukurlah wahai jiwa pada penguasa langit dan bumi
Pada penguasa yang menerangi birunya langit dengan nyala api semangat
Pada penguasa yang menyinari gelapnya langit dengan indahnya pelita cinta..

Dan bersujud pula lah wahai jiwa yang masih mengembara
Mengembara sampai jiwa siap terbang menembus awan untuk menemukan kedamaian
Bersujudlah demi romansa jiwa yang tak akan terlupa
Yang belum tersingkap dari balik tirai awan di sana..


gambar : http://kimia.upi.edu/utama/bahanajar/kuliah_web/2007/Merliana%20Aryani/300px-Awan.jpg