Sebagian orang berkata bahwa “life is a journey”.. Hal ini bagi saya mengindikasikan bahwa hidup tidaklah sempurna rasanya tanpa melakukan journey.. alias “jalan-jalan”.. hehe.. (tafsiran secara semprul..). Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya mencoba sedikit berbagi pengalaman saya dalam perjalanan 3 hari mengunjungi beberapa kampus perguruan tinggi di jabodetabek. Tepatnya ke UI (Depok dan Salemba), IPB, dan UIN Syarif Hidayatullah. Ini dia kisahnya..
Kunjungan Hari Pertama: Salemba, Rekonstruksi Sisa Mimpi
Ide untuk melakukan perjalanan pertama ini muncul dari benak 2 orang sahabat saya, sebut saja Fadhil dan Alif (keduanya bukan nama samaran), keduanya mahasiswa IPB (Institut Pertanian Bogor), yang ingin “menggila” melepaskan semua kepenatan dari kehidupan kampus mereka (juga saya) dengan berkunjung ke beberapa kampus di Pulau Jawa. Pengejawantahan tahap pertama dari ide ini adalah berkunjung ke Universitas Indonesia (UI) dan berfoto di depan landmark UI sambil mengenakan jakun (jaket kuning; jas almamater UI).
Maka, demi realisasi dari hasrat “menggila” yang kami miliki, kami (saya, A’ Fadhil, dan Alif)pun berangkat ke kampus UI di Depok pada hari Minggu, 27 Juli 2009, dengan kereta Ekonomi AC pukul 12.31. Lewat dari sekitar jam 1 siang kami tiba di stasiun UI. Kami pun bergegas mencari tempat untuk sholat zuhur, akhirnya sholat di MUI, dan kemudian mencari tempat untuk berfoto di depan landmark UI sambil mengenakan jakun. Awalnya ingin di depan Bundaran Psiko, di mana di situ terdapat makara UI berwarna keemasan. Namun, untuk lebih mendapat citra makara UI yang lebih jelas, kami pun memutuskan untuk berfoto di Kolam Makara FE UI.
Singkat cerita, setelah puas berfoto di depan Makara UI kami bergegas menuju kampus UI Salemba dimana di situ terdapat FK (Fakultas Kedokteran) dan FKG (Fakultas Kedokteran Gigi) UI. Momen inilah yang kusebut sebagai rekonstruksi mimpi karena Alif (khusunya) yang pernah punya cita-cita menjadi seorang dokter lulusan FK UI akhirnya berkesempatan mengunjungi tempat yang pernah menjadi cita-citanya. Cita-cita yang sempat menjadi bahan bakar bagi kehidupannya (lebay..) sampai kira-kira kelas XI SMA, sampai vonis menderita buta warna (parsial) ia terima dari dokter yang memeriksa matanya. Ya.. sulit bagi seorang buta warna untuk merealisasikan mimpinya berkarir dalam bidang yang berkaitan dengan biologi dan kimia (termasuk kedokteran). Maka itulah kenyataan yang harus ia terima. Mengubur impian menjadi seorang mahasiswa kedokteran (baca : calon dokter), dan kini menjadi mahasiswa jurusan Ilmu Komputer. Ya.. itulah hidup, terkadang yang kita cita-citakan bukanlah jalan yang terbaik bagi kita (seperti bisa dilihan di QS Al-Baqarah ayat 216). Semoga kita bisa mengambil hikmah dan menemukan betapa besar cinta-Nya dari ujian-ujian yang Ia berikan pada kita. Aamin.. Rekonstruksi pun berjalan sesuai rencana awal. Berfota ria di depan FK UI.
Hari Kedua : Pertemuan yang Batal dan Isu Terorisme
Hari Kedua : Pertemuan yang Batal dan Isu Terorisme
Sejatinya, kunjungan saya ke IPB (Institu Pertanian Bogor) hari itu (29 Juli 2009) tidak diniatkan untuk “jalan-jalan”. Saya hanya ingin bertemu dengan seorang teman saya, sebut saja bernama TB (lagi-lagi bukan nama samaran) untuk membahas evaluasi dari pelaksanaan suatu kegiatan trainning untuk rekan-rekan SMA yang baru saja lulus. Namun, kesibukan TB dalam mempersiapkan penyambutan mahasiswa baru IPB membuat pertemuan ini batal dilaksanakan. Akhirnya, karena sudah terlanjur sampai di area kampus IPB, kesempatan ini pun menjadi “jalan-jalan sore”.
Hal “menarik” terjadi saat saya sedang dalam perjalanan dari mesjid Al Huriyah menuju gerbang keluar IPB. Dalam momen itu saya bertemu dengan 2 orang wanita (salah satu masih muda, berperawakan seperti orang dari Indonesia Timur dan yang satu lagi lebih mirip orang melayu pada umumnya, namun usianya sekitar paruh baya) yang menanyakan jalan keluar dari kampus IPB kepada saya. nah, kebetulan kan! Saya mau keluar, mereka pun mau beranjak pergi. Maka kami pun berjalan bersama. Meski tanpa didahului oleh perkenalan, diantara kami bertiga tetap terjadi obrolan yang hangat dan ramah, dengan sedikit bumbu gelak tawa dari sedikit guyonan yang terlontar. Salah satu guyonan yang terlontar (dari 2 orang wanita tadi) adalah setelah mereka mengetahui saya baru dari mesjid Al Huriyah untuk bertemu dengan seorang teman, salah seorang diantara mereka (yang bermuka melayu) nyeletuk “... wah, abis ngerancang bom lagi ya..?? hehee..”. Tawa kecil pun merebak di antara kami bertiga. Hehe.. meskipun demikian, tetap saja, hati ini sedikit terluka. Bagaimana tidak? Sedikit guyonan ini menunjukkan betapa umat islam di Indonesia tengah dihadapkan pada suatu fitnah yang menyudutkan Islam sebgai agama teroris dan mesjid adalah “sarangnya”. Sebuah tantangan lagi bagi kita semua, umat Islam se-Indonesia (bahkan se-dunia) untuk menunjukkan bahwa Islam adalah rahmatan lil’alamin dan orang-orang dibalik semua fitnah ini sebagai the real terrorist..
Tanpa terasa, kami bertiga telah sampai di dekat gerbang keluar dari kampus IPB. Salam perpisahan yang hangat dan ucapan terimakasih tulus mereka ucapkan, dan saya pun membalas dengan ucapan selamat jalan dan pesan agar berhati-hatilah selama dalam perjalanan.
To be continued...
tapi kalau dipikir-pikir lagi, emang bener ko para ekstremis islam yang ngebom di sana-sini itu telah menciptakan citra (sangat) buruk... gue aja jadi serem denger kata 'pondok pesantren'. jangan-jangan kurikulumnya terorisme dan ide-ide anarki lagi. bahkan ada ponpes yang nolak masang bendera karena dianggap memuja negara. jih.
BalasHapusya.. itulah kalo mmahami agama secara tidak sempurna.. scara tidak proporsional dan tidak seimbang..
BalasHapussemoga mereka segera dapet hidayah deh..
lagian kalo citra islam makin buruk, kan kita juga yang repot.. ckckc..^^
jadi pengen jalan-jalan juga gwa ke kampus orang. hha.
BalasHapus