Tampilkan postingan dengan label inspirasi-motivasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label inspirasi-motivasi. Tampilkan semua postingan

Selasa, Oktober 19, 2010

10 / 90

Bayangkan kejadian berikut ini terjadi pada kehidupan Anda, pembaca yang budiman :

Suatu pagi, Anda sedang sarapan bersama keluarga sebelum berangkat kuliah. Tiba-tiba adik perempuan Anda yang masih kelas 4 SD menumpahkan segelas susu cokelat ke kemeja putih yang sedang Anda kenakan untuk berangkat ke kampus.
Secepat kilat Anda berada dalam situasi dimana Anda harus memilih untuk marah dan menumpahkan segala kekesalan Anda kepada adik kecil Anda itu atau Anda bersabar untuk memaafkannya.

Ternyata respon yang Anda pilih adalah “marah dan menumpahkan segala kekesalan Anda pada adik Anda”.
Anda pun mulai mengumpat, berkata-kata kasar memarahi adik Anda yang telah menumpahkan segelas susu cokelat ke kemeja putih Anda. Adik Anda pun menangis.

Setelah itu, Anda melihat ke arah ibu Anda, kemudian mengkritiknya karena telah menaruh segelas susu tadi terlalu dekat dengan tepi meja. Pertengkaran yang tidak perlu terjadi antara anak dan ibundanya pun terjadi. Anda pun semakin naik pitam dan sembari memukul meja makan untuk melampiaskan kekesalan Anda, Anda pun pergi ke kamar untuk mengganti kemeja. Setelah itu Anda kembali dan melihat adik perempuan Anda tadi baru saja menghabiskan sarapannya, namun masih menangis.
Keadaan semakin terasa buruk karena mobil jemputan adik Anda tidak bisa datang hari ini. Ini berarti Anda harus mengantar adik Anda ke sekolahnya terlebih dahulu, sementara waktu yang dibutuhkan untuk bisa sampai di kampus tepat waktu tidaklah banyak.
Akhirnya, Anda pun mengendarai sepeda motor Anda layaknya seorang pembalap liar. Sayangnya, pembalap liar yang kemudian harus berurusan dengan pihak berwajib. Terbuanglah 10 menit untuk membereskan urusan dengan pihak berwajib tadi. Akibatnya adik Anda pun terlambat selama 10 menit pula. Beruntung pintu gerbang sekolah belum tertutup untuknya. Anda mungkin tidak peduli. Yang Anda pedulikan, sambil tetap mengalirkan sumpah serapah kepada adik Anda, hanyalah bagaimana agar bisa tiba di kampus dalam waktu lima menit kedepan.
Secepat apapun Anda berusaha, sepuluh menit kemudian Anda baru tiba di parkiran kampus Anda. Satu-dua langkah lebar Anda ambil dan tiba-tiba Anda tersadar, print-out makalah tugas Anda yang harus dikumpulkan pagi ini (atau tidak ada nilai sama sekali) tertinggal di meja makan rumah Anda.
Hari itu pun berlalu dengan begitu buruk, ingin rasanya Anda segera pulang. Ketika Anda pulang, Anda masih menyalahkan adik dan ibu Anda sebagai pangkal permasalahan dari buruknya hari ini bagi Anda.

Anda sepakat dengan “Anda” pada kisah tadi? Siapakah yang menurut Anda patut disalahkan dari buruknya hari yang “Anda” alami? Segelas susu cokelat yang tumpah? Kecerobohan adik “Anda”? Pihak berwajib (polisi) yang menghambat perjalanan Anda? Atau kah “Anda” sendiri?

Apakah yang akan terjadi seandainya “Anda”, ketika segelas susu tadi tumpah mengenai kemeja Anda, memilih untuk bersabar dan memaafkan adik Anda? Mungkin “Anda” tetap perlu mengganti kemeja “Anda”, tapi “Anda” akan tetap tenang dan tidak tergesa-gesa sampai melupakan tugas penting yang harusnya tak boleh “Anda” lalaikan. “Anda” tidak perlu berurusan dengan pihak berwajib yang menyebabkan waktu anda banyak terbuang, dan hari itu pun akan berjalan dengan baik dan anda tidak kehilangan nilai sebagaimana yang Anda inginkan.

Renungkanlah kata-kata berikut ini;
-    10% kehidupan dibuat oleh hal-hal yang terjadi terhadap kita
-    90% kehidupan ditentukan oleh bagaimana kita bereaksi/ memberi respon

Kejadian “segelas susu cokelat yang tumpah ke kemeja ‘Anda’” dalam cerita di atas adalah “10%” peristiwa yang mungkin kita tidak punya kuasa apapun untuk merubah atau mengontrolnya. Yang bisa kita lakukan adalah mengontrol respon kita untuk menanggapi “10%” tadi, karena respon kitalah yang sesungguhnya bernilai “90%”. Tidak masalah apa yang menimpa kita, yang menjadi masalah adalah bagaimana respon kita dalam menanggapi masalah atau peristiwa yang terjadi.

Hal-hal yang mungkin terlihat menyulitkan kehidupan kita, kebijakan pemerintah lah, kebijakan  kampus yang tidak bersahabat lah, tuntutan akademis yang tinggi lah, kesibukan non akademis kampus lah, ketegangan antara kawan lah, kondisi keluarga lah, dsb. Bisa jadi hanya 1 bagian dari dinamika kehidupan kita. Respon atau reaksi kita terhadap peristiwa-peristiwa itulah yang menentukan 9 bagian lain dari usaha kita dalam mencapai kesusksesan yang ingin kita raih.

Dan karena cerita tadi menyangkut soal maaf-memaafkan, semoga petikan kisah ini pun dapat memberikan suatu skema baru mengenai makna dari “maaf” dan “memaafkan”.

Wallahu’alam bi showab..

*cerita ini saya dapatkan dari salah seorang sahabat saya, tapi beliaupun tidak menyebutkan sumber resmi darimana cerita ini berasal. Mudah-mudahan tidak dihitung sebagai plagiarisme, hehe..

gambar : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuXg07flCbl4ypgoxf1K7YzXzQoEagxayT8JsAUyywn57mWS0mIU5eggPbDS720gc2LQPAaNY_6SYffgMVjdpTCqClLgjcv5UhYB1TK8aWVo-po0bCYIcCZvcvkaOVzunMMkfW2MCLWTE/s1600/SusuTumpah.jpg

Kamis, Juni 03, 2010

Melepas Rindu dengan Ombak


Sudah lama rasanya diri ini tidak merasakan semilirnya angin yang berhembus dari lautan menuju daratan , debur ombak yang membasahi kaki yang belepotan oleh pasir-pasir coklat-keputihan, serta pemandangan biru-kebiruan yang memanjakan mata, sekaligus menunjukkan kebesaran Maha Pencipta .. Ya, sudah lama rasanya tidak berwisata ke daerah pantai, daerah perbatasan antara lautan biru yang luas dengan daratan yang hijau, kecoklatan, dan keabuan, yang sehari-harinya penuh dengan aktifitas manusia..

Akhirnya kesempatan itu pun datang, melalui sebuah kegiatan daurah yang diselenggarakan oleh rekan-rekan dari Forum Ukhuwah dan Studi Islam (FUSI) F. Psikologi UI, yang bertajuk KIAT (Kajian Islam Akhir Tahun) 2010. Ya, tahun ini, KIAT- FUSI mengambil tempat di Nurul Fikri Boarding School, yang berjarak kurang lebih 8 kilometer dari Pantai Anyer. So, kegiatan tafakur alam-nya pun menjadi “wisata pantai” di Pantai Pasir Putih, Anyer. Sebuah pengalaman menarik di penghujung semester genap tahun ajaran ini. Berikut sedikit kesan dan memori yang tertinggal dari kegiatan yang berlangsung pada 29-30 Mei 2010 lalu ini..

KIAT 2010
Sebenarnya, bagi saya secara pribadi, yang menjadi daya tarik utama dari kegiatan KIAT kali ini adalah adanya kegiatan “wisata” ke pantai Anyer yang dijanjikan oleh panitia melalui spanduk publikasi kegiatan ini. Hehehe.. Ya, tapi di luar “motivasi untuk berwisata” itu, saya tertarik mengikuti kegiatan ini karena pengalaman keikutsertaan di kegiatan yang sama tahun lalu meninggalkan kesan yang indah bagi saya.
Apakah kesan indah itu? Kesempatan berinteraksi dengan warga asli di daerah tersebut! hal itu merupakan sebuah sensasi tersendiri bagi saya, karena melalui interaksi dengan warga sekitar itu, kadang banyak potongan hikmah dan inspirasi menarik yang bisa diambil. Pada KIAT tahun lalu, dimana karena saya tidak bisa berangkat dari awal bersama rombongan besar, saya berangkat sendiri ke daerah Parung Kuda, Sukabumi yang “asing” bagi saya. Asing-nya tempat membuat saya harus bertanya pada orang-orang yang saya temui dalam perjalanan, dan kebetulan salah seorang yang saya temui merupakan warga asli daerah Parung Kuda tersebut, kebetulan pula arah rumahnya searah dengan arah tempat vila kegiatan KIAT berlangsung. Orang yang saya temui ini kemudian menceritakan berbagai hal tentang daerah Parung Kuda tersebut. Salah satu yang masih saya ingat adalah tentang adanya seorang tokoh yang aktif melakukan penyebaran agama Islam di daerah tersebut dan ikut membangun desa di daerah tersebut baik secara fisik (membangun fasilitas masyarakat, jalan, penerangan, tempat ibadah) dan ruhaniyah (mengadakan kajian-kajian agama, dsb). Bahkan vila tempat acara kami berlangsung tersebut dibangun oleh si tokoh yang diceritakan orang yang saya temui tadi. Beliaupun menceritakan bahwa si tokoh tersebut telah wafat, kira-kira tiga bulan sebelumnya.
Pengalaman bertemu warga sekitar dan cerita unik berkaitan dengan tempat tersebutlah yang ingin kembali saya dapatkan di KIAT kali ini, maka, saya pun awalnya berencana untuk datang sendirian atau tidak bersama rombongan besar peserta dan panitia ke acara ini. Namun, setelah menimbang-nimbang (terutama pertimbangan masalah dana), akhirnya niat ini saya urungkan dan saya pun berangkat bersama rombongan besar, dari kampus f. psikologi UI pada Sabtu, 29 Mei 2010 lalu, sekitar pukul 8 pagi.
Setelah menempuh hampir 5 jam perjalanan darat dengan menggunakan 2 bus berukuran sedang milik TNI, akhirnya kami tiba di tempat, Nurul Fikri Boarding School sekitar waktu zuhur. Bus-bus kami pun parkir di area parkir mesjid di komplek “pesantren” ini. Kami semua serombongan pun lansung turun dan memindahkan barang-barang bawaan kami ke daerah camping ground tempat kami akan bermalam di komplek “pesantren” ini. Jadi, selama di sini, kami tidak bermalam di wisma atau semacamnya, tapi di camping ground dengan menempati tenda yang sudah disediakan oleh pihak pengelola tempat. Total rombongan peserta dan panitia KIAT ini “menghabiskan” 6 buah teda, 4 untuk peserta akhwat dan 2 untuk peserta ikhwan. Tenda ikhwan dan akhwat ini berada dalam satu area, namun tepisah oleh sebuah parit yang lebarnya kira-kira 1,5 meter. Area camping ground ini sendiri letaknya kira-kira 1.2 kilometer dari tempat parkir. Perjalanan kaki untuk mencapai camping ground ini seperti berjalan dari ujung ke ujung area pesantren ini. letaknya bersebelahan dengan fasilitas kolam renang pesantren, sebuah danau buatan, dan hutan-hutan yang menjadi batas wilayah luar area pesantren ini.

Sisi Lain dari Mensyukuri Nikmat Allah.
Setelah semua menempatkan barang-barang yang dibawa di tenda masing-masing, makan siang, dan sholat zuhur yang di-jamak dengan sholat ashar, acara kembali terpusat di sebuah aula berdinding dan berlantai kayu di pinggir salah satu danau. Dimulailah sesi materi pertama dari acara ini. Materi pertama ini dibawakan oleh seorang ustadzah, Ustadzah Niniek nama sapaanya, yang membawakan materi tentang mensyukuri nikmat Allah. Secara umum, materi yang dibawakan merupakan materi yang sudah pernah saya dapatkan sebelumnya di kesempatan kajian yang lain, seperti mengapa kita harus bersyukur atas nikmat yang Allah berikan, baik di saat suka maupun duka maupun tentang manfaat menjadi orang yang pandai bersyukur atas nikmat yang diberikan dilihat dari berbagai sisi. Namun ada hal menarik, sesuatu yang berbeda yang ditawarkan oleh bu ustadzah untuk lebih bisa meresapi rasa syukur atas nikmat-nikmat yang Allah berikan, yaitu dengan mencatatkan hal-hal yang dapat kita syukuri dalam satu buku catatan khusus setiap menjelang tidur! Mengapa, karena menjelang tidur, gelombang otak kita berada dalam posisi relaks, gelombang alpha. Di saat inilah kita mampu menyerap informasi secara optimal. Dengan memanfaatkan konsep ini, insyaAllah kita akan semakin meresapi makna dari rasa syukur kita, semakin cinta pada Dzat yang telah memberikan kita banyak hal yang patut disyukuri, dan manfaat-manfaat lain dari segi jasmani-rohani dari sikap pandai bersyukur ini akan lebih terasa. Hmm.. highly recommended untuk dicoba :D

Temukan Konsep Diri Anda!
Materi syukur nikmat dari ustadzah Niniek tadi ternyata berlansung lebih lama dari yang dijadwalkan, akibatnya, rencana untuk ke pantai Anyer yang semula dijadwalkan sore hari itu terpaksa ditunda. Penonton kecewa.. Tapi, mau bagaimana lagi? Mungkin keikhlasan kami dalam mengikuti majelis ilmu di sini sedang diuji oleh-Nya. Tak ada pilihan lain, acara pun berlanjut ke waktu mentoring dan waktu bebas untuk bersih-bersih sampai dengan maghrib. Meskipun tidak semua peserta kebagian jatah membersihkan badan alias mandi, acara kembali berlangsung di Aula, sholat maghrib dan materi yang berikutnya. Sampai di sini, setelah akhirnya dapat kesempatan untuk mandi, saya tidak lagi mengikuti acara di Aula, karena sang Ketua FUSI, Fajar, meminta saya ikut menemaninya berjaga di tenda. Oke lah..
Saya dan Fajar pun menunaikan sholat maghrib dan isya secara berjamaah, berdua, setelah itu kami habiskan waktu jaga tenda ini dengan mengobrolkan banyak hal, tentang psikologi, Fakultas Psikologi UI dan civitas-civitasnya, tentang pengalaman “camping”-nya Fajar dua pekan sebelum ini, dan banyak hal lainnya. Sembari ditemani oleh sebungkus biskuit keju, wafer coklat, beberapa gelas minuman air mineral, serta handphone yang memutar musik-musik khas para “aktivis dakwah” yang terkadang diselingi lantunan ayat-ayat suci yang terekam secara digital dalam format mp3., ceramah beberapa ustad ternama yang juga diabadikan dalam format digital. Ada satu ceramah yang menarik bagi saya, sebuah ceramah dari ustadz Anis Mata, yang bertemakan pernikahan atau lebih tepatnya tentang memilih pasangan hidup.. uhuy..! Apa isi ceramahnya? Salah satu yang masih saya ingat adalah tentang menemukan dan memahami “konsep diri” anda untuk menemukan siapa pasangan yang pas untuk anda! Ya! ustad Anis Mata mengatakan bahwa kita harus mengenal dengan baik diri kita untuk bisa menemukan siapa pasangan hidup yang tepat untuk kita. Karena menikah bukanlah urusan sepele, ini menyangkut sebuah kerjasama apik untuk membangun peradaban dari titik terkecilnya, keluarga, maka untuk bisa melakukannya dengan baik diperlukan kombinasi pasangan yang ideal. Ideal dalam arti bisa saling melengkapi kelebihan dan kekurangan yang ada. Hehe.. boleh juga nih tips-nya..
Tak terasa, jam hampir menunjukkan pukul 11 malam, teman-teman dari aula pun sudah mulai berdatangan untuk memenuhi tuntutan mata mereka yang minta ditutup untuk beberapa waktu.

Allahu Akbar.. Swiiiiingg.. Jebyur..!!
Sekitar pukul 3 dini hari, panitia membangunkan kami untuk melaksanakan qiyamul lail bersama, kembali bertempat di Aula. Setelah qiyamul lail, tak berselang lama, waktu shubuh datang dan kami semua pun sholat shubuh berjamaah. Selepas sholat shubuh berjamaah, acara dilanjutkan kembali dengan materi mengenai “10 kriteria pemuda muslim”, aqidah yang bersih, ibadah yang benar, akhlak yang baik, fisik yang kuat, cerdas, melawan hawa nafsu, pandai mengatur waktu, teratur, mandiri, dan bermanfaat bagi orang lain. Penekanan dari ustad yang membawakan materi ini adalah bahwa mencapai seluruh kriteria ini memang bukan perkara mudah, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan. Pak ustadz pun mengakui dirinya belum bisa memenuhi semua kriteria ini, namun ia akan terus berusaha dan ikut mengajak orang lain untuk mampu mencapainya.
Setelah materi dari ustad ditutup, acara selanjutnya adalah outbond! Dan apa yang kami (para lelaki) dapati di pos pertama? Flying fox melintasi salah satu danau di area pesantren ini! Dari ujung satu ke ujung lainnya, berjarak kira-kira 30 meter. Start-nya adalah dari pucuk sebuah pohon kelapa setinggi kira-kira 10 meter, finish-nya adalah sebuah batang pohon tua yang menyembul dari permukaan air danau. Tidak seperti flying fox yang selama ini kami temui dimana peserta “terbang” dari satu sisi ke sisi sebrangnya dimana di situ berjaga seorang pemandu yang akan membantu kita turun dari “wahana” ini, tantangan dalam flying fox kali ini adalah untuk “terbang” kemudian menceburkan diri ke danau sedalam 10 meter yang ada di bawah “trek” terbang kami. Woo.. sebuah sensasi adrenalin rush tersendiri tentunya untuk terbang dari ketinggian 10 meter kemudian nyebur ke danau sedalam 10 meter pula. Awalnya memang agak menakutkan, setelah dicoba ternyata mengasyikkan juga. Oh ya, sebelum meluncur “terbang” Bapak pemandu menginstruksikan kami untuk berteriak, “Allahu Akbar!”, belakangan saya merenung, mungkin maksudnya “teriakan” ini adalah untuk meredakan ketakutan yang ada pada kita, “bukankah ada Allah yang Maha Besar, so, apa lagi yang perlu kita takutkan??”.
Pos outbond berikutnya adalah games seperti minesweeper dan game halang rintang yang menguji kesabaran dan kesetiakawanan kami untuk terus memberikan dukungan pada anggota kelompok yang lain dalam melewati tantangan yang ada. Sekitar pukul 10.30 seluruh rangkaian outbond selesai. Kami pun diberi waktu untuk bersih-bersih dan rapih-rapih tenda untuk kemudian berangkat menuju “agenda utama” acara ini, jalan-jalan ke pantai.. :D

White Sand Beach…
Selepas penutupan dan sholat zuhur yang dijamak dengan sholat ashar lagi secara berjamaah, rombongan pun menyudahi petualangannya di kompleks Nurul Fikri Boarding School ini, untuk kemudian ngebut menuju Pantai Pasir Putih, Anyer.. “agenda utama” dari kegiatan ini, ehehe..
Hampir 30 menit perjalanan, akhirnya kami pun tiba di pantai Pasir Putih, Anyer.. Di tengah cuaca terik karena matahari yang sedang mencapai titik puncaknya. Namun, semua itu tidak menghalangi kami untuk langsung menikmati indahnya pantai dengan berfoto-foto ria, bermain bola, maupun berjalan-jalan menyusuri pantai yang indah ini sambil menikmati deburan ombak yang menyapa kaki-kaki yang belepotan oleh pasir pantai ini, menuntaskan kerinduan kami akan suara-suara deburan ombak dan keceriaan di bawah naungan rasa syukur akan nikmat yang begitu besar ini.. Subahanallah.. Kapan lagi dengan 50 ribu rupiah saja bisa menikmati indahnya pantai Anyer seperti ini? hehehe… 

Jazakumullah khair buat semua, panitia, peserta, pak sopir, pak satpam, tukang es kelapa, tukang ojek (lho?!)..


gambar :http://img104.imageshack.us/img104/983/anyer25sl.jpg  

Selasa, Mei 25, 2010

(yang) Terus Berlalu..


Sekedar share saja.. mungkin bisa jadi sedikit inspirasi di hari ini..

Jadi, beberapa waktu lalu tanpa sengaja saya menemukan sepucuk surat yang amplopnya bertuliskan “kepada: akhi M. Ardhya, XI Ipa 3”.., ketika dilihat siapa pengirimnya, ternyata berasal dari “DKM Ar-Rahmah Smansa” (rohis-nya SMA saya dulu..). Kemudian saya pun langsung teringat , dulu surat ini saya terima saat saya berulang tahun, kalo tidak salah sih pas yang ke-17.. Ya, sewaktu menjelang akhir kelas XI,..

Dulu sih seneng-seneng aja kan waktu dikasih kartu ucapan begini.., wah.. gw ulang tahun DKM gw ngasih gw kartu ucapan selamat nih.. hehe..

Isinya mah nggak terlalu dibaca waktu itu.. :XD

Tapi, sekarang, setelah lama surat ini tersimpan, dan kemudian tanpa sengaja ditemukan, menjelang milad ke-20 lagi.. wah, sepertinya isi dari surat berisi kartu ucapan selamat ini harus mulai diperhatikan..

Hehe..

Berikut isi suratnya;


Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Selamat Ilang Tahun..!!!

Waktu semakin cepat berlalu

Umurmu telah berkurang satu tahun lagi..

Kau semakin mendekati kematian

Entah kematian seperti apa…

Khusnul khatimah kah?

Berbaring di tempat tidurkah?

Atau..

Teronggok lemah dengan darah di sekelilingmu?

Bersiaplah menghadapinya..

Akhi..

Dirimu adalah figur generasi islam yang senantiasa diharapkan

Bersikaplah layaknya seorang pemuda islam yang teguh

Yang senantiasa menjaga kehormatan diri, keluarga, dan agama

Menjadi generasi islam yang membanggakan

Menjadi pembela agama terbaik hingga akhir zaman

Akhi..

Selamat ilang tahun…


Ya, teringat kembali, ada yang pernah bilang (siapa ya?) ulang tahun adalah sarana kita untuk berintrospeksi, melihat sudah sejauh apa kita berjalan di kehidupan yang sementara ini, apa saja yang sudah kita perbuat, apa saja manfaat yang sudah kita berikan dari eksistensi kita selama ini.. sebelum waktunya eksistensi kita berakhir, dan esensi dari diri kitalah yang dikenang..

~~

Jumat, Maret 05, 2010

Hidayah dan Hidangan Istimewa.


Dahulu, seorang pemuda datang dari sebuah desa terpencil untuk belajar di Universitas Al-Azhar. Ia merantau ke mesir membawa impian besar dan harapan mendalam bahwa kelak ia menjadi seorang da’I yang ikhlas membantu agama Allah, seikhlas para ulama dahulu yang kisahnya telah banyak ia baca.

Setiap pagi ia pun menghadiri pengajian yang di masjid Al-Azhar, bersama seorang Syaikh. Disitulah ia mendulang ilmu-ilmu fikih, tafsir, hadists, adab, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Dengan takzim, setiap ia duduk mendengarkan ucapan syaikh yang menyampaikan pelajaran serta petuah-petuah penuh hikmah.

Namun keadaanya berbeda sejak beberapa bulan terakhir. Kiriman uang sekadarnya dari orangtuanya yang bekerja sebagai petani di kampung tak kunjung tiba. Dan sudah beberapa hari, uang persediaanya telah habis meskipun ia telah mencoba bertahan dengan menghemat sisa uangnya.

Kebutuhan sehari-harinya mulai terganggu. Bahkan seringkali ia tidak makan seharian. Keadaan itu sering membuatnya tidak mampu berkonsentrasi penuh terhadap setiap pelajaran yang disampaikan syaikh.

Hingga di suatu hari, ia tidak bisa lagi menahan rasa lapar yang mendera perutnya. Maka, ia memutuskan meninggalkan sejenak pengajian bersama syaikh, dengan harapan di luar sana, ia dapat menemukan sepotong roti untuk mengganjal perutnya yang semakin lama semakin perih karena lapar.

Maka berjalanlah ia menelusuri jalan dan lorong di sekitar kampus Al-Azhar. Tanpa ia sadari, ia tiba di sebuah bangunan rumah yang terlihat lebih mewah dari rumah di sekelilingnya. Pintu rumah itu terbuka lebar dan tidak terlihat siapapun di dalam rumah tersebut. Pemandangan yang menggoda siapa saja untuk masuk dan menjarah harta bendanya.

Karena tidak menemukan siapapun, ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah itu. di ruang makan, ia mendapati hidangan yang tertata rapih di atas meja, seolah disiapkan untuk satu jamuan. Aroma makanan betul-betul menggoda selera, menggugah perutnya yang perih didera rasa lapar.

Saat akan menyuapkan makanan tersebut kedalam mulutnya , seketika ia teringat akan nasihat Imam Asy-Syafi’I kepada Waqi’ bin Jarrah ; “karena ilmu adalah cahaya Allah. Dan cahaya itu takkan dikaruniakan pada pelaku maksiat”.

Sungguh, memasukkan makanan haram ke dalam perut walaupun hanya secuil roti adalah bagian dari menghalangi cahaya itu. Ia percaya mustahil menggabungkan antara cahaya dan kegelapan dalam satu ruang.

Akhirnya dengan perut yang masih sangat lapar, ia memutuskan untuk kembali ke pengajian bersama syaikh.

Setelah pelajaran syaikh baru saja usai, tiba-tiba saja seorang wanita separuh baya menghampiri syaikh. Lalu keduanya terlibat pembicaraan serius.

Tak lama kemudian, syaikh memanggil sang pemuda, “wahai Abdullah, kemarilah!”

Pemuda itu pun menjawab, “ya Syaikh, kenapa tiba-tiba Syaikh memanggilku?”

“Begini, bagaimana pendapatmu jika kamu menikah?” ujar syaikh.

Dengan terkejut pemuda tersebut menukas, “apa?! Apakah syaikh sedang bercanda dengan ku? Demi Allah, aku sudah tiga hari tidak makan, mau diberi makan apa istriku nanti, wahai syaikh?”

“Dengarkanlah, sesungguhnya wanita tua ini mengeluhkan kepadaku, kalau suaminya baru saja meninggal dunia. Suaminya meniggalkannya bersama Aisyah, putri satu-satunya, dan mewarisi harta yang melimpah. Ibunya ingin segera menikahkanya dengan seorang pemuda saleh, atas pertimbanganku. Ia mebutuhkan menantu yang nantinya akan membantunya untuk mengelola harta warisan, peninggalan ayahnya. Bagaimana?”

Seakan tidak percaya, pemuda itu menjawab, “kalau demikian, baiklah wahai syaikh, terimakasih atas perhatiannya. Saya siap menikah dengannya.”

Tak berapa lama, mereka segera menuju kediaman aisyah. Dan ketika tiba mereka disana, tiba-tiba pemuda itu meneteskan air mata.

Syaikh bertanya heran; “kenapa engkau menangis Abdullah? Apakah kau merasa terpaksa menikah dengan gadis ini?”

“Bukan ya Syaikh. Bukan karena itu, tapi, belum lama ini, saya pernah memasuki rumah ini. hampir saja saya mengambil makanan yang ada di atas meja itu. Tapi, aku teringat kalau makanan itu bukanlah milikku dan aku tidak boleh memakannya tanpa seizin pemiliknya. Jika aku memakannya, itu berarti aku memasukkan makanan yang haram ke perutku. Karena itu, aku segera meninggalkannya karena takut kepada Allah”

Syaikh pun bertasbih, “ Maha Suci Allah yang pernah berfirman, ‘barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeky dari arah yang tidak disangka-sangka’ (Ath-Thalaq : 2-3).”

Akhirnya, pemuda dan gadis itu dinikahkan oleh Syaikh, disaksikan oleh ibunda gadis tersebut serta orang-orang yang mereka cintai dan cinta kepada mereka.

Subahanallah, karena kecintaannya kepada Allah, pemuda desa itu telah mendapatkan limpahan rahmat. Kini, Ia pun tidak hanya mendapatkan seorang istri, tapi juga mewarisi harta kekayaan ayah dari isterinya. Begitulah cinta yang sesungguhnya. Ketika cinta kita tujukkan semata-mata kepada Yang Maha Mencinta, maka limpahan cinta-Nya akan membuat hidup ini terasa nikmatnya. Ia akan menguatkan jiwa kita, karena sesungguhnya jiwa ini lemah ketika dalam posisi yang salah..

Indah bukan ketika cinta kita letakkan pada jalan yang diridhoi oleh-Nya?! Lantas, masihkah kita tergoda untuk mencoba meletakkan, mewujudkan, memberikan cinta kita melalui jalan atau tradisi yang justru bertentangan dengan tuntunan yang sesuai fitrah kita (Islam) ?

Wallahu’alam bi showab

(Cerita dikutip dari buku : Engkau Lebih Cantik dari Bulan Purnama, karya Muhammad Yasir)


Senin, Oktober 26, 2009

Mari Membina Diri

Judul buku : Tarbiyah Dzatiyah
Penulis : Abdullah bin Abdul Aziz Al-Aidan
Penerjemah : Fadhli Bahri, Lc.
Penerbit : An-Nadwah, Jakarta,

Tentunya kita semua pernah bertanya-tanya, mengapa dari seorang “guru” yang mengajarkan “ilmu” yang sama bisa lahir murid-murid dengan kualitas pemahaman ilmu yang berbeda-beda, ada yang sangat mahir, namun ada pula yang justru tertinggal oleh yang lainnya? Mungkin jawabannya akan beragam, tapi salah satu yang tidak boleh kita pungkiri adalah kemampuan dari “si mahir” untuk membina dirinya sendiri dengan optimal menuju kualitasnya yang terbaik. Kemampuan membina diri sendiri inilah yang diulas secara mendalam oleh Abdullah bun Abdul Aziz Al-Aidan dalam buku Tarbiyah Dzatiyah ini. Apakah makna dari tarbiyah dzatiyah itu sendiri? Makna dari tarbiyah (pembinaan) dzatiyah adalah sejumlah sarana pembinaan untuk setiap muslim dan muslimah kepada dirinya untuk membentuk kepribadian Islami yang sempurna di seluruh sisinya, baik ilmu, iman, akhlak, sosial, dan sebagainya untuk mencapai kesempurnaan sebagai manusia.

Mengapa kita perlu Tarbiyah Dzatiyah? Menurut penulis buku ini, pembinaan yang optimal terhadap diri sendiri ini merupakan hal yang sangat penting bagi setiap manusia. Ada banyak hal yang mendasari pernyataan ini.
Pertama, sebagai seorang muslim memang kita diperintahkan untuk memperioritaskan keselamatan diri kita dari bahaya api neraka, sebelum kita mengajak orang lain untuk juga bisa selamat dari api neraka. Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam QS At-Tahrim ayat 6; “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”.
Kedua, jika kita tidak berinisyatif untuk men-tarbiyah-I diri kita sendiri, lalu siapa yang akan melakukanya? Jangan sampai usia yang diberikan Allah kepada kita ini kita siasiakan dengan tidak mengoptimalkan apa yang telah Allah beri pada diri kita. Jangan lupa pula bahwa kelak hisab pada hari kiamat akan bersifat individual, artinya setiap diri kita akan diminta pertanggungjawaban atas amal perbuatannya di dunia, meskipun jika ada penyimpangan yang kita lakukan karena pengaruh orang lain. “Dan setiap mereka datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri” (QS Maryam; 95).
Ketiga. Setiap orang pasti memiliki kekurangan, ataupun pernah melakukan kelalaian, maka tarbiyah dzatiyah dapat menjadi upaya perbaikan diri menuju lebih baik lagi. Dengan terus mengupayakan perbaikan diri ini, seorang muslim akan semakin tsabat (sabar), istiqomah, dan mampu menjadi qudwah yang baik dalam dakwah. Dan akhirnya, dengan izin Allah kita dapat menunjukkan ke-syumul-an Islam untuk memperbaiki kondisi masyarakat saat ini yang masih kering dari nilai-nilai Islam.

Masihkah Tidak Peduli?
Sering kali ketika kita sudah mengetahui urgensi dari suatu hal, namun tetap saja pada kenyataanya "porsi" perhatian maksimal kita pada hal ini tidak maksimal. Apa sajakah penyebabnya? Dalam buku ini disebutkan beberapa penyebab masih minimnya perhatian pada tarbiyah dzatiyah ini. Diantaranya, minimnya ilmu kita tentang dalil-dalil Quran maupun Sunnah yang menganjurkan trabiyah dzatiyah ini, ketidakjelasan sasaran dan tujuan hidup yang membuat kita berjalan tanpa arah yang pasti dan akhirnya banyak mengisi kehidupan dengan hal yang sia-sia, "lengket"nya kita dengan kehidupan dunia (terlalu sibuk mencari sesuap nasi, dan hanya menaruh sedikit perhatian pada tarbiyah), pemahaman yang salah tentang tarbiyah seperti anggapan bahwa kegiatan tarbiyah membuat diri terputus dari kehidupan manusia, minimnya basis tarbiyah yang kondusif dan mampu menjaga agar tetap istiqomah, "langka"nya pembina (murabbi) yang mampu memberikan tarbiyah, taujih, dan pengamalan yang sesuai dengan kondisi "objek" yang perlu dibina, serta perasaan akan panjangnya angan-angan yang membuat kita menunda-nunda diri untuk melakukan tarbiyah pada diri.
Sarana-sarana Tarbiyah Dzatiyah
Banyak sekali sarana yang dapat digunakan untuk melakukan tarbiyah dzatiyah, diantaranya:
Muhasabah. Seluruh bagian dari hidup kita akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT di akhirat kelak. Maka, tarbiyah yang dilakukan seorang muslim kepada dirinya dengan diawali melakukan muhasabah (evaluasi diri) atas kebaikan dan keburukan yang telah ia kerjakan, dll, adalah langkah yang sangat baik.

Bertaubat dai segala dosa
. Setelah melakukan muhasabah dan mengetahui hal-hal yang perlu dievaluasi dari diri kita (kesalahan ataupun dosa), maka langkah yang harus dilakukan setelahnya adalah bertaubat dengan taubat yang sebenarnya (taubatan nasuha), dan bertekad tidak pernah mengulanginya kembali.
Dosa pada hakikatnya adalah kelalaian dalam mengerjakan kewajiban-kewajiban syar’I atau mengerja¬kan dengan tidak semestinya. Oleh karena itu membina diri dengan bertaubat adalah sarana yang tepat untuk meningkatkan kualitas diri dan menghindari hukuman Allah di dunia maupun akhirat atas dosa yang kita lakukan.

Mencari ilmu dan memperluas wawasan
. Dengan terus mencari ilmu dan menambah wawasan, kapasitas dan kemampuan kita dalam berbagai hal akan semakin terasah optimal. Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menambah ilmu dan memperluas wawasan kita, baik itu melalui kajian ilmu agama maupun ilmu pengetahuan, membaca buku, mengunjungi ahli ilmu, dll. Yang perlu diperhatikan dalam mencari ilmu antara lain, ikhlas dalam mencari ilmu, rajin dan meningkatkan pengetahuan, menerapkan ilmu yang didapatkan, dan tunaikan hak ilmu dengan berdakwah kepada orang lain.


Mengerjakan amalan-amalan iman.
Ini merupakan sarana tarbiyah diri melalui realisasi konkret perintah-perintah Allah dan RasulNya. Bentuk realisasi konkret tersebut diantaranya; mengerjakan ibadah-ibadah wajib seoptimal mungkin, Meningkatkan porsi ibadah-ibadah sunnah, serta peduli dengan ibadah dzikir seperti membaca al-qu’ran dan berdzikir.

Memerhatikan aspek akhlak. Islam sangat peduli dengan aspek akhlaq yang baik, kepada Allah maupun kepada sesama manusia. Seperti yang diungkapkan Ibnu Qoyyim rahimahullah “ Agama itu akhlak. Barang siapa meningkatkan akhlak Anda, berarti ia meningkatkan ia meningkatkan akhlak Anda”. Beberapa bentuk tarbiyah dzatiyah dalam aspek moral antara lain : sabar, membersihkan hati dari akhlak tercela, meningkatkan kualitas akhlak, bergaul dengan orang-orang yang berakhlak mulia, serta memperhatikan etika-etika umum.

Terlibat dalam aktivitas dakwah
. Terlibat dalam aktivitas dakwah adalah salah satu sarana tarbiyah dzatiyah yang penting, karena Allah telah menyebutkan dalam surat Al-Ashr bahwa orang-orang yang tidak rugi di akhirat kelak adalah orang-orang yang memiliki empat sifat; beriman kepada Allah ta’ala, beramal shaleh, saling berwasiat dalam kebeenaran, dan saling berwasiat untuk sabar. Sifat ketiga dan keempat tidak akan dapat direalisasikan, kecuali kita menunaikan kewajiban kita untuk berdakwah ke jalan Allah.


Mujahadah
. Mujahadah atau jihad artinya bersungguh-sungguh. Bersungguh-sungguh juga merupakan sarana penting, karena melakukan tarbiyah dzatiyah ini tidaklah mudah, banyak tantangan yang akan kita hadapi dalam melaksanakannya. Kesungguhan kita dapat ditunjukkan dengan bersabar, motivasi karena Allah ta’ala, bertahap dalam melakukannya, serta jadilah orang yang tidak lalai.


Berdoa dengan jujur kepada Allah.
Doa menjadi salah satu sarana tarbiyah dzatiyah, karena doa adalah perminaan seorang hamba kepada Tuhannya, pengakuan ketidakberdayaan, peryataan tidak punya daya dan kekuatan, serta penegasan tentang daya, kekuatan, kodrat, dan nikmat Allah ta’ala.
Rasulullah SAW telah menjelaskan tentang korelasi antara doa dan tarbiyah dzatiyah, seperti dalam sabda Beliau, “Iman pasti lusuh di hati salah seorang diantara kalian, sebagaimana pakaian itu lusuh. Karena itu mintalah Allah memperbaharui iman di hati kalian.” (diriwayatkan Ath-Tabrani dan sanadnya hasan).


Apa yang kita dapat dari Tarbiyah Dzatiah
Tabiyah dzatiyah merupakan suatu proses. Jika diibaratkan dengan tanaman berbuah, maka pada akhirnya tarbiyah dzatiyah akan menghasilkan “buah yang ranum” (hasil atau manfaat) untuk kita rasakan. Beberapa manfaat yang Insya Allah akan kita rasakan diantaranya; mendapatkan keridhaan Allah dan surgaNya, kebahagiaan dan ketentraman, dicintai dan diterima Allah, sukses, terjaga dari keburukan dan hal-hal tidak mengenakkan, keberkahan waktu dan harta, kesabar atas penderitaan dan semua kondisi, dan jiwa yang merasa aman. Sungguh besar bukan manfaatnya? Semoga kita semakin termotivasi untuk melakukan tarbiyah dzatiyah ini dengan optimal.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah’, kemudian mereka istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran pada mereka dan mereka tidak berduka cita.” (Al-Ahqaf: 13)

“Dia yang menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin, supaya keimanan me¬re¬ka bertambah selain keiamanan mereka (yang ada).” (QS Al-Fath: 4)

Sabtu, September 26, 2009

Semua Bisa Jadi Pahlawan!


"Mencari Pahlawan Indonesia"

Penulis : Anis Matta

Penerbit : The Tarbawi Center, 2004

Mencari Pahlawan Indonesia merupakan kumpulan tulisan dari Anis Matta yang pernah dimuat dalam Serial Kepahlawanan di Majalah Tarbawi. Kumpulan tulisan ini bukanlah kumpulan angan-angan tentang sosok seorang yang turun dari langit untuk menjadi juru selamat dari krisis multidimensi yang melanda bangsa ini. Kumpulan tulisan ini justru mengajak kita untuk bersama-sama menelaah nilai-nilai dari seorang pahlawan serta faktor-faktor dibalik kepahlawanan seseorang. Kumpulan tulisan dalam bentuk sebuah buku ini pun mengajak kita untuk menumbuhkan suatu sosok pahlawan dari dalam diri kita, karena setiap diri kita memilki potensi untuk menjadi seorang pahlawan.

Filosofi

Apakah sebenarnya “pahlawan” itu? Banyak dari kita, yang masih memiliki paradigma bahwa seorang pahlawan adalah orang suci yang turun dari langit yang diturunkan ke bumi untuk menyelesaikan persoalan dengan mukjizat, secepat kilat untuk kemudian kembali ke langit. Padahal sebenarnya orang-orang yang kita kenal sebagai sesosok pahlawan yang nyata selama ini adalah manusia biasa pula. Manusia biasa, sama seperti kita. Karena, pahlawan sesungguhnya adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi yang panjang, sampai waktu mereka habis. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Namun, yang tidak kalah penting bagi seorang pahlawan adalah nilai keikhlasan. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa “pahwalawan” dapat menjadi suatu gelar yang diberikan oleh masyarakat. Nilai keikhlasan menjadi penting sebab keikhlasan lah yang akan membawa setiap orang pada hakikat yang besar dan abadi, dimana setap orang akan ditempatkan dengan layak, adil, dan objektif.

Trilogi Dunia

Ya, pahlawan adalah seorang manusia biasa. Manusia biasa yang tentunya tidak akan lepas dari ujian Allah SWT yang terangkum dalam “trilogi dunia”; harta, tahta, dan wanita. Namun, ketika semua itu dihadapi dengan kesabaran, “trilogi dunia” dapat menjadi sumber kekuatan yang akan terus menyalakan api kepahlawanan dalam diri seseorang.

Wanita adalah sosok yang penting bagi seorang pahlawan, yang menempati ruang yang begitu luas dalam jiwa seorang pahlawan. Wanita memiliki kekuatan berupa kelembutan, kesetiaan, cinta, dan kasih sayang yang mampu menjadikannya penjaga spiritual dan sandaran emosi bagi sang pahlawan. Dari sosok seorang wanita inilah pahlawan dapat memperoleh kekuatan, ketenangan, kenyamanan, keamanan, dan keberanian dalam memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Salah satu contoh nyata dari peran penting seorang wanita bagi seorang pahwalan adalah kisah Khadijah yang menguatkan hati suaminya, Nabi Muhammad SAW, yang merasakan ketakutan luar biasa saat menerima wahyu untuk pertama kalinya.

Jika wanita berperan dalam pembentukan jiwa pahlawan, maka untuk mewujudkan kepahlawanannya seorang pahlawan memerlukan sumber daya berupa harta. Harta bagi seorang pahlawan adalah sarana agar kepahlawanannya bisa diwujudkan di dunia materi (nyata) ini. Untuk itu, setiap pahlawan harus memaknai pengorbanan sebagai energy dari ke-zuhud-an. Energi yang akan membuat setiap pahlawan tidak nervous ketika berhadapan dengan harta dunia sehingga harta tidak pernah menemukan jalan menuju hati mereka dan akhirnya harta tersebut mampu untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakatnya.

Satu bagian lagi dari trilogy dunia para pahlawan adalah “tahta”. Ibnu Qoyyim Al- Jauziah pernah berkata, “ Saya telah mempelajari seluruh syahwat manusia. Yang ku temukan kemudian adalah fakta bahwa syahwat yang paling kuat dalam diri manusia adalah syahwat kekuasaan”. Tahta atau kekuasaan, berikut besarnya dorongan maupun godaan dibaliknya, bak dua mata pisau. Satu sisi mampu menjadi sarana untuk pahlawan mewujudkan kepahlawanannya (seperti halnya harta) namun di sisi lain tahta mampu menjerumuskan banyak pahlawan ke dalam lumpur kenistaan dan bisa merusak semua telaga kepahlawanan yang ia ciptakan sendiri. Oleh karena itu setiap pahlawan harus menempatkan tahta sebagai sarana, bukan sebagai tujuan.

Aspek-aspek kepahlawanan

Trlogi dunia merupakan anugerah sekaligus ujian bagi para pahlawan. Anugerah jika mampu menjadikannya sebagai sarana, bukan tujuan. Menjadikannya dalam genggaman, bukan dalam hati. Apa yang membuat para pahlawan mampu melakukan hal tersebut? Selain keikhlasan dalam berbuat, factor penting lainnya adalah terasahnya aspek-aspek kepahlawanan dalam diri, yang meliputi keberanian, kesabaran, dan pengorbanan.

Setiap pahlawan merupakan seorang pemberani. Pemberani tidaklah sama dengan nekad, menjadi pemberani adalah menjadi seseorang yang sepenuhnya maju menunaikan tugas, baik tindakan maupun perkataan, demi kebenaran kebaikan, atau untuk mencegah suatu keburukan dengan menyadari sepenuhnya kemungkinan resiko yang akan diterima. Keberanian tidak akan optimal tanpa kesabaran. Atau dengan kata lain, tidak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran. Keduanya saling berkaitan karena kesabaran adalah daya tahan psikologis yang menentukan sejauh apa pahlawan mampu membawa beban idealisme kepahlawanan dan sekuat apa pahlawan mampu survive dalam menghadapi tekanan hidup. Aspek lain yang juga penting dalam kepahlawanan adalah pengorbanan. Pahlawan mendapatkan “gelarnya” karena begitu banyak hal telah ia korbankan atau berikan pada masyarakatnya. Pengorbananlah yang memberi arti dan fungsi kepahlawanan bagi sifat-sifat pertanggungjawaban, keberanian, kesabaran.

Kesimpulan

Pahlawan sesungguhnya adalah hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Dengan demikian, setiap diri kita punya potensi untuk menjadi seorang pahlawan. Tinggal bagaimana kita mengoptimalkan potensi-potensi tersebut menjadi sarana dalam mewujudkan kepahlawanan serta tetap menjaga keikhlasan dalam berjuang.


* Tulisan ini juga bisa dilihat di Albinadigital.wordpress.com

* Terimakasih kepada Yoga (biologi UI 08) yang sudah meminjamkan buku ini. Terimakasih juga buat Zie, Marsha, Puji, & Edoy (psikologi UI 08) atas kerjasamanya dalam meeringkas isi buku ini sebelumnya, hehehe...

Kamis, Juli 23, 2009

Kenapa Bukan Aku?

Aku sangat ingin menjadi seorang astronot, sangat ingin tebang ke luar angkasa. Tapi.. aku tidak memiliki gelar dan aku bukanlah seorang pilot. Aku hanyalah seorang guru.
Harapan sempat mucul ketika Gedung Putih mencari warga biasa untuk ikut dalam penerbangan 5I-L pesawat ulang-alik Challenger. Kesempatan yang tidak boleh disiasiakan, aku pun ikut melamar. Betapa bahagianya diriku ketika amplop berlogo NASA yang berisi undangan untuk ikut seleksi aku terima. Aku terus beroda dan ternyata doaku terkabul karena aku lulus seleksi demi seleksi. Mimpi ku semakin mendekati kenyataan.
Dari 43 ribu pelamar yang kemudian disaring lagi menjadi 10 ribu orang dan akhirnya aku pun menjadi bagian dari 100 orang yang berhak mengikuti ujian tahap akhir. Ada simulator, uji klaustrofobi, latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara, dan serangkaian tes lainnya. Siapakah diantara kami yang bisa melewati tahap akhir ini? “Ya Tuhan.. izinkanlah diriku yang terpilih..” lirihku dalam doa yang kupanjatkan.
Lalu tibalah hari pengumuman itu. Dan ternyata NASA memilih Christina McAufliffe. Bukan aku. Aku telah kalah. Hidupku hancur. Aku mengalami depresi, seiring dengan lenyapnya rasa percaya diriku juga kebahagiaanku. Hanya amarah yang tertinggal. “Tuhan kenapa bukan aku? Kenapa Engkau tidak berbuat adil padaku? Kenapa Engkau begitu tega menyakiti hatiku?” Aku pun menangis di pangkuan ayahku. Namun ayahku hanya berkata, “anakku, semua terjadi karena suatu alasan..”
Selasa, 28 Januari 1986. Aku berkumpul bersama teman-temanku untuk melihat peluncuran Challenger. Saat pesawat itu melewati landasan pacu, aku menantang impianku untuk yang terakhir kalinya, “Tuhan, aku bersedia melakukan apa saja agar berada di dalam pesawat itu..”. Namun tak ada yang bisa kulakukan. “Tuhan.. Kenapa bukan aku?”.
Tujuh puluh tiga detik kemudian, ternyata Tuhan menjawab semua pertanyaan dan menghapus semua keraguanku. Tujuh puluh tiga detik setelah peluncuran itu, Challenger meledak dan menewaskan semua penumpangnya.
Aku teringat kata-kata Ayahku, “semua terjadi karena suatu alasan...”. Aku tidak terpilih dalam penerbangan itu, walau aku sangat menginginkannya, karena Tuhan memiliki alasan lain untuk kehadiranku di bumi ini. Aku memilki misi lain dalam hidup ini, dan aku tidaklah kalah. Aku tetap seorang pemenang. Ya aku tetap seorang pemenang. Aku menang karena aku telah kalah. Aku, Frank Slazak.

...boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS Al-Baqarah : 216)

diadaptasi dari "Rencana Allah", dalam buku Mengantar Ginjal ke Surga (Eman Sulaiman, penerbit : MadaniA Prima)

gambar: http://www.wired.com/ly/wired/news/images/full/Challenger_Launch.jpg

Senin, Juli 20, 2009

Di Balik Tirai Awan..

Siang ini sang surya bersinar perkasa
Siang ini ribuan jiwa terlahir ke alam fana
Dan mulai siang ini awan yang kan menaungi jiwa-jiwa itu berbeda..

Ada awan yang teduh melindungi
Ada pula yang kelam, badaipun membayangi
Namun itulah hari-hari yang harus dilewati..


Kita tidak pernah mengetahui apa yang ada dibalik awan
Tak pernah tahu..
Sampai sayap-sayap jiwa mampu terbang menembusnya
Atau sampai awan-awan itu justru turun menghampiri jiwa
Sebagai air yang kadang serupa air mata

Lindungan awan telah memberi bentuk pada jiwa
Teduhnya menyejukkan
Derai air matanya menumbuhkan harapan

Namun, tenangnya jiwa takkan datang bersama..

Bersyukurlah wahai jiwa-jiwa yang telah menemukan ketenagannya
Tentu bukan tenang dalam kehampaan yang kaucari
Tentunya ketenangan yang menentramkan jiwalah tujuanmu..

Bersujudsyukurlah wahai jiwa pada penguasa langit dan bumi
Pada penguasa yang menerangi birunya langit dengan nyala api semangat
Pada penguasa yang menyinari gelapnya langit dengan indahnya pelita cinta..

Dan bersujud pula lah wahai jiwa yang masih mengembara
Mengembara sampai jiwa siap terbang menembus awan untuk menemukan kedamaian
Bersujudlah demi romansa jiwa yang tak akan terlupa
Yang belum tersingkap dari balik tirai awan di sana..


gambar : http://kimia.upi.edu/utama/bahanajar/kuliah_web/2007/Merliana%20Aryani/300px-Awan.jpg

Senin, Juni 08, 2009

Cerita Tentang Belajar dan Peluang Kerja di Bidang Psikologi

Hmm.. sedikit mau berbagi cerita (alias curhat) saja berkaitan dengan sebuah pengalaman yang alami. Pengalaman yang mungkin bisa menjadi bahan renungan juga, khususnya untuk saya dan mungkin juga mahasiswa jurusan psikologi yang lain, karena yang saya alami adalah pertanyaan dari seorang murid kelas X sma tentang peluang atau prospek kerja dari seorang sarjana psikologi. Yah, pertanyaan yang menurut saya wajar muncul dari seorang anak yang mencoba membuat peta besar dari kehidupannya kelak (cita-cita pekerjaan di masa depan), namun tetap perlu mendapat apresiasi tinggi karena umumnya (berdarkan hasil survei asal-asalan saya dari dulu..) siswa kelas x sma masih menjalani hidupnya dengan “go wherever wind blow”. Usaha untuk menjawab satu pertanyaan ini, dimana obrolan kecil itu akhirnya menjadi sebuah forum duduk melingkar dengan peserta sekitar 7-8 siswa kelas x termasuk saya, saya rasakan sedikit menegur saya terutama berkaitan dengan apa yang hendak saya lakukan setelah lulus sarjana psikologi. Hueh.. inilah rangkaian kisahnya...

Peristiwa ini terjadi hari Jumat, 5 Juni, lalu. Seperti biasa, hari Jumat menjadi hari untuk menjalankan amanah menjadi seorang pembimbing atau pembina (yang membina[sakan].. hehe!) diskusi tema-tema keislaman bersama siswa-siswa kelas x sma. Kebetulan Jumat lalu merupakan hari masuk sekolah (kbm) terakhir sebelum ulangan semester di hari senin pekan berikutnya. Jadi untuk diskusi saat itu, saya berencana melakukan sharing antar anggota diskusi (terutama dengan siswa kelas X3, yang saya “pegang”) tentang kiat-kiat sukses dalam menghadapi ujian, tes, atau ulangan serta membahas sedikit tentang “prinsip-prinsip belajar dalam Al-Quran” dari buku “Al-Quran dan Psikologi” yang ditulis oleh Muhammad Usman Najati (thanks to akh Fajar atas bukunya). Intinya sih untuk memberikan “suntikan” motivasi bagi mereka dalam menghadapi ulangan semester ini. Seperti biasa, manusia boleh menyusun rencana tapi Allah lahh yang akan menentukan, dan ketetapan Allah lah yang memang terbaik untuk mahluk-Nya. Ternyata situasi di lapangan sulit mewujudkan rencana tadi. Ya sudah, jadinya dimulai dengan forum kecil, berempat dengan saya, kita coba ngobrolin berbagai hal seputar dunia pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Kebetulan diantara 4 orang tadi ada pula teman yang terhitung masih kelas XII dan masih bersiap menyambut “dunia baru” yang akan segera dihadapinya (ni orang udah dapet PMDK ke UI jurusan teknik elektro).
Dengan ditemani sebungkus wafer rasa keju (isi 8 wafer.. [serius isinya memang 8, tiada tendensi maupun maksud apapun.. hehe..]) obrolan pun mengalir hangat dan akrab. Mulai dari kisah-kisah “garing” dan sedikit lawakan yang memaksa kami untuk saling tertawa (tragis!) hingga cerita tentang point-point menarik dari sebuah buku pembangun motivasi yang bertemakan sukeses dengan berpikir “out of the box” (tapi lupa judul bukunya apa). Sampai akhirnya pertanyaan tentang mengapa akhirnya saya memilih untuk kuliah di jurusan psikologi yang akhirnya memicu munculnya pertanyaan “ aa’ (sunda: kakak), emang peluang kerja lulusan psikologi tuh apa aja?”. Tanpa disadari forum kecil itu telah meluas. Dalam lingkaran itu kini ada sekitar 8 orang. Orang-orang yang menyusul bergabung tadi adalah anak-anak kelas x juga yang sejak obrolan kecil tadi dimulai memang telah “konkow” ada di sekitar kami.
Menjawab pertanyaan tentang alasan kenapa akhirnya memilih kuliah di jurusan psikologi membawa diri ini sedikit bernostalgia dengan masa lalu. Jadi ingat saat-saat di mana diri ini begitu terobsesi dengan pelajaran biologi, terutama setelah membaca buku-buku Harun Yahya (sekitar saat masih kelas X sma), dan akhirnya pernah bercita-cita menjadi seorang ahli biologi (dibuktikan dengan memilih melanjutkan ke program ipa di kelas xi, meskipun nilai mipa selain biologi dan kimia begitu “mengenaskan”). Namun, ternyata belakangan saya ketahui ada keunikan pada mata saya yang tidak memungkinkan saya untuk menjadi ahli biologi secara formal. Rencana dibalik ketetapan Yang Maha Kuasa memang indah. “Kedua mata” ini akhirnya “menuntun” saya di kelas xii untuk memutuskan “banting stir” saat kuliah nanti dengan masuk ke jurusan sosial-humaniora dan akhirnya memilih psikologi sebagai “next destination” saya. Ternyata memang inilah jalan yang indah untuk saya lalui. (Duh.. jadi curhat gini..^^).
Kembali ke perbincangan tentang prospek kerja di bidang psikologi. “Adik-adik” saya ini pun sempat mengajukan pertanyaan berkaitan dengan “psikolog” dan “psikiater”. Saya pun menjawabnya dengan mengatakan bahwa psikiater adalah dokter yang kemudian mempelajari ilmu kejiwaan. Sehingga dalam terapi yang mereka berikan mereka boleh menggunakan obat-obatan tertentu. Berbeda dengan psikolog yang merupakan lulusan magister profesi psikologi yang terapinya lebih ke arah pembentukan tingkah laku dari si pasien. Oh ya, berkaitan dengan penggunaan obat-obatan oleh psikiater, ternyata salah seorang diantara ‘adik-adik” saya ini ada yang nyeletuk (dengan nada kesel-ngeremehin) “ah, obat-obatnya itu obat bohongan tau..” (menyimpulkan bahwa obat tersebut tidak punya efek medis sama-sekali). Haha! Saya pun sedikit tertawa, sambil dalam hati bertanya “benarkah kenyataanya seperti itu?”. Kemudian saya terangkan sedikit kepada mereka bahwa itu adalah “placebo effect” yatu mensugesti si pasien dengan suatu “janji” tentang khasiat tertentu dari suatu bahan, padahal bahan yang dimaksud tidak mengandung khasiat apapun secara medis. Hehehe...

Seakan masih “haus darah”, anak-anak muda penuh rasa ingin tahu (tapi tempe nggak deh.. ) ini pun kembali berkicau.. “trus, lulusan S1 kerjanya apaan a’?” Hmm.. ini nih pertanyaan yang cukup “nonjok ati”, membuat diri ini seakan diingatkan untuk berpikir “nanti setelah lulus mau ngapain.. (mau kerja apa, dimana?)”. Yah, memang sih saya akui bahwa “plan A” sejauh ini, yaitu setelah lulus sarjana adalah meneruskan ke program S2 dengan beasiswa (insya Allah.. Aamin!), membuat fokus pikiran saya hanya bagaimana mendapatkan beasiswa tersebut. Perihal jika “diharuskan” kerja terlebih dahulu memang agak tidak saya pikir mendalam. Jadi agak bingung juga deh untuk menjawab pertanyaan mengenai prospek kerja dari sarjana psikologi ini. But.. akhirnya pertanyaan tersebut saya jawab dengan nyeletuk.. “rental!” (sambil gaya serius padahal main-main). Mereka pun shock dan berkata “hah! Parah! Serius?!”. Dan saya jawab lagi.. “haha! Ya nggaklah..” (maksudnya peluang kerja lulusan psikologi itu lebih luas lagi, tidak cuma jadi penjaga rental.. hehe.. parah nih, mentang-mentang juga punya obsesi mendirikan sebuah bisnis warnet..-_-). Jawaban agak serius kemudian saya berikan (dengan diawali sedikit ngemeng.. hehe..).. “..gini.. psikologi itu nanti cabangnya ada banyak.. (berdasarkan peminatan yang ada di S1 psikologi UI) ada psikologi klinis, psikologi industri dan organisasi, psikologi pendidikan, psikologi sosial, dan psikologi perkembangan. Jadi (intinya) sarjana psikologi itu bisa jadi konsultan untuk masing-masing bidang tersebut. Bisa juga jadi trainer (kayak Mario Teguh ataupun Ary Ginanjar gitu-gitu..), ada juga yang buka usaha outbond training (seperti pengalaman yang diceritakan oleh salah seorang senior yang sudah lulus), kerja di bagian HRD (human resources development) di suatu perusahaan termasuk bagian penyeleksi karyawan-karyawan yang mau masuk. Dll. Belum lagi ada survei yang menyatakan bahwa hampir 100% lulusan psikologi UI langsung diterima di lapangan kerja (survei ini diceritakan oleh seorang teman, entah valid atau tidak.. hehe.. dan kemudian salah seorang dari peserta obrolan ini, yang sudah kelas xii tadi meng-iya-kan hal tersebut). Jadi.. tak usah khawatirlah akan dunia kerja, lagipula lulusan psikologi itu “jiwa-jiwanya bebas” dan kreatif deh.. (pemikiran semprul diri sendiri..). hehehe...”

Yah, itulah sedikit obrolan yang kemudian, tepat setelah pembahasan tentang peluang kerja sarjana psikologi itu, sedikit demi sedikit bubar karena memang sudah agak sore jadi bebrpa diantara peserta forum ini ada yang izin pulang duluan. Yah.. semoga peristiwa ini menjadi suatu sinyal positif bahwa makin banyak ikhwan-ikhwan (lelaki-lelaki) yang tertarik dengan ilmu yang di UI sendiri fakultasnya didominasi oleh perempuan ini. Hehehe..
Demikianlah kisah ini. By the way, apa aja sih peluang kerja bagi sarjana psikologi? (lho?! Jadi saya yang juga ikutan bertanya gini..?! hehe..)