Senin, Januari 28, 2008

Pak Harto

Minggu_27 Januari 2008, setelah dirawat selama kurang lebih 24 hari, sejak tanggal 4 Januari, akhirnya, Bapak H. M. Soeharto, mantan presiden ke-2 republik ini menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 13.10, di RSP Pertamina Jakarta. Begitulah headline-news, berita terhangat yang kudengar minggu sore tadi. Seluruh media pertelevisian menyiarkan berita perihal kematian “Bapak Pembangunan” ini, meliput kejadian di RSP Pertamina, kediaman Pak Harto di Cendana, dan di Astana Giribangun-Karanganyar, tempat beliau diperkirakan akan dikebumikan, bersanding dengan isterinya, Ibu Tien, yang sudah terlebih dahulu menempati “istana” (kata “astana” kupikir mungkin memiliki kemiripan arti dengan “istana”) tersebut sejak tahun 1996.
Pemerintah kemudian menetapkan 7 hari berkabung nasional, atau apalah istilahnya, intinya menghimbau rakyat negeri ini untuk mengibarkan bendera setengah tiang, sebagai tanda ikut berduka cita, dan untuk mengenang jasa-jasa yang telah beliau, yang meninggal karena komplikasi dari berbagai organ yang telah melemah fungsinya ini, berikan terhadap perkembangan dan pembangunan bangsa ini, terutama dari segi pembangunan fisik; pembang­unan berbagai gedung, fasilitas publik, dan berbagai sarana-prasarana untuk kema­juan negeri ini. Melalui program Repelita, Rencana pembangunan lima tahun, Pak Harto telah banyak menghasilkan kemajuan bagi negeri ini.
Mengenai “sisi lain” beliau, maupun rezim orde baru yang beliau pimpin, pada kesempatan ini aku tak ingin banyak berkomentar, supaya, tulisan ini tidak malah mencemari nama beliau dengan hal-hal yang aku sendiri tidak tau kebenarannya, maklum, ketika beliau menjabat, aku masih kecil, belum melek “dunia”. Yang masih kuingat, tidak jauh dari perayaan ulang tahun kedelapanku, beliau ini didemo, dituntut mundur oleh ribuan mahasiswa yang sempat pula menduduki (denotatif) gedung DPR di Senayan. Beliau ini dituntut mundur karena kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang terjadi di rezim pimpinannya, serta karena tuntutan mereka akan pemerintahan yang lebih demokratis, dan terbuka. Selain itu, rezim beliau juga dituding telah menyebabkan negeri ini masuk kubangan krisis ekonomi (yang kemudian kubangan tersebut makin dalam, menjadi krisis multidimensi, bahkan sampai saat ini!). Yah, itulah masa reformasi, masa pembaharuan (dari kata reform = pembentukan ulang, begitu kata ayahku ketika dulu kutanyai apa itu reformasi).
Jika memang beliau dan konco-konconya ini pernah dan telah melakukan pelanggaran hukum, mbok ya ada persidangannya, ada proses hukumnya! Katanya negeri ini negeri hukum, siapapun dia, harusnya kedudukannya sama donk di mata hukum. Betul?! Begitu pikirku ketika beliau masih tergolek lemah di rumah sakit, di hari-hari sebelum meninggalnya beliau, ketika dikabarkan bahwa kondisi kesehatan orang yang paling lama duduk di kursi kepresidenan ini membaik. Kupikir dan kuharap beliau ini akan segera keluar, dan segera bisa dikuak apa yang sebenarnya terjadi selama beliau berkuasa. Tapi ya, apa boleh dikata, tidak etis memang menyidangkan orang yang sedang sakit, ataupun sehabis sakit, jika beliau nanti sembuh, dan ternyata, siang tadi, beliau meninggal dunia. Sepertinya kasuspun ditutup.
Bagaimana ya dengan “Supersemar”? Surat perintah yang menjadi bukti perpindahan kekuasaan dari Pak Sukarno ke Pak Harto. Dari pelajaran sejarah yang terjadi di kelasku semester lalu, kudapat informasi bahwa isi sebenarnya dari supersemar itu yang tau tinggal Pak Harto seorang. Dan kini, beliau telah tiada. Apakah fakta tentang supersemar tersebut akan ikut terkubur bersama jasad Pak Harto?
Yah, kematian memang tidak ada yang tahu kapan ia akan datang, kapan ia akan menjemput kita menemui Sang Pencipta, yang sudah memberikan kita kesempatan hidup di dunia ini. Ia memanggil kita kembali untuk menuntut pertanggungjawaban kita atas nikmat yang telah Ia berikan ini. Hidup memang hanya sementara, di dunia ini kita hanya menunpang sebentar. Pernah kudengar dari seorang ustad, hidup bisa diibaratkan dengan sebuah perahu, life is like a boat (seperti judul sebuah lagu, animeholic pastinya tau lagu ini!), seperti perahu yang singgah sementara di sebuah dermaga, tapi hanya singgah! Mengisi bekal, untuk perjalanan yang panjang, perjalanan yang abadi. Yang sering dilupakan ialah berapa lama kita singgah, karena singgah hanya berarti sementara, tidak selamanya. Namun, waktu singgah ini seringkali sangat indah, seakan akan tidak akan pernah berhenti. Sebuah renungan pula buat diriku ini, supaya jangan menyia-nyiakan nikmat hidup yang diberikan. Jadi teringat, tahun lalu, juga di akhir Januari, salah seorang temanku, teman satu ekskul, meninggal dunia karena demam berdarah, setelah sempat dirawat selama satu bulan, lebih mungkin, semoga ia diterima di sisiNya. Amin.

Nb: tulisan ini hanya bersifat renungan.
Oia, selama Pak Harto ini sakit dan dirawat di rumah sakit, merebaklah sebuah cerpen yang berkisah tentang bagaimana jadinya jika Paman Gober, tokoh terkaya di Kota Bebek meninggal dunia. Kalau tidak salah judulnya, Ketika Paman Gober Meninggal Dunia, aku lupa pe­ngarang­nya siapa.

2 komentar:

  1. Selamat jalan, Pak Harto...
    semoga amal ibadah beliau diterima di sisi-NYa,,
    semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan,,
    amin...

    wass.

    BalasHapus
  2. Aku juga ingin menyatakan bela sungkawa atas meninggalnya Pak Soeharto...

    Kebaikan beliau pada negara semoga dikenang seluruh rakyat...

    Dan kesalahannya semoga dimaafkan...

    BalasHapus